Rabu, 30 November 2011

PAHAM PEMIKIRAN DALAM FILSAFAT PENGETAHUAN EMPIRISME

PAHAM PEMIKIRAN DALAM
FILSAFAT PENGETAHUAN EMPIRISME

MUQODDIMAH
            Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh semangat dan terus-menerus. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pengalaman manusia, dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan mutlak tersebut.[1]
Perkembangan ilmu pengetahuan modern sejak Renaisans tidak hanya disambut baik oleh rasionalisme, melainkan juga oleh para filsuf Inggris. Berbeda dari Rasionalisme yang beranggapan bahwa pengetahuan yang sahih diperoleh hanya melalui rasio belaka, mereka beranggapan bahwa pengetahuan yang sahih harus bersumber dari pengalaman (empeiria). Dengan pendirian dasar itu, pandangan mereka disebut “empirisme”.
Pada zaman kita ini, empirisme menjadi sikap dasar segala bentuk penelitian ilmiah. Pengetahuan harus didasarkan pada observasi empiris. Sikap empiris macam ini cukup menggejala di Inggris, sehingga kerap kali tradisi Anglosakson disamakan dengan tradisi empiris. Sebenarnya dalam pemikiran Francis Bacon di akhir Renaisans, kita sudah mendapati empiisme, yakni ketika dia menjelaskan metode induksinya.[2] Barulah dari empat filsuf sebagai perintis sikap empiris yang menggejala pada zaman ilmu dan teknologi, diantaranya: Thomas Hobbes (1588-1679 M), Jhon Locke (1632-1704 M), George Berkeley (1665-1753 M), David Hume (1711-1776 M).[3]
Sebagai putra modernitas, empirisme juga memiliki maksud yang jelas untuk mengganti cara berpikir tradisional. Dengan mengembalikan pengetahuan pada pengalaman, empirisme berusaha membebaskan diri dari bentuk-bentuk spekulasi spiritual yang menandai metafisika tradisional. Dengan cara itu juga empirisme berusaha memisahkan filsafat dari teologi.[4]

PENGERTIAN EMPIRISME
            Empirisme berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunani-nya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. Dengan inderanya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik dan masuk ke dalam medan intensional, walaupun masih sangat sederhana. Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal konkret-material.
            Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada senbilitas organ-organ tertentu.[5] Sehingga empirisme dinisbatkan kepada paham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya aliran ini sangat bertentangan dengan rasionalisme.[6]
Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, karena itu pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Sebaliknya, empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, yang kemudian dipahami di dalam otak, dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut. Aliran ini menganggap pengalaman sebagai satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan. Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.[7]
            Hal ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti: “Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?” Seorang empiris akan mengatakan, “karena saya merasakan hal itu atau karena seorang ilmuwan telah merasakan seperti itu”. Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana dia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.[8]

1.  THOMAS HOBBES (1588-1679 M)
            Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di Inggris.[9] Thomas Hobbes lahir pada tanggal 5 April 1588 di Malmesbury/ Westport dan meninggal tahun 1679 di Hardwick.[10] Ia adalah putra dari pastor yang membangkang dan suka berdebat. Keluarganya terpaksa lari dari daerahnya akibat situasi yang kurang mendukung. Ia juga sosok yang cerdas, terbukti pada umur 6 tahun sudah menguasai bahasa Yunani dan Latin dengan amat baik dan umur 15 tahun sudah belajar di Oxford University.[11]
            Hobbes dikenal sebagai salah seorang perintis kemandirian filsafat. Dia berpendapat bahwa sejak lama filsafat disusupi banyak gagasan religius, dan juga banyak filsuf yang sulit membedakan filsafat dari teologi. Ia juga menegaskan bahwa filsafat tidak berurusan dengan ajaran-ajaran teologis. Sedangkan yang menjadi objek penelitian filsafat adalah objek-objek lahiriyah yang bergerak beserta ciri-cirinya, atau dengan kata lain, objek-objek yang dapat dialami dengan tubuh kita. Menurutnya konsep-konsep spiritual tidak relevan bagi filsafat, sebab tidak terdapat dalam pengalaman kita. Berdasarkan asumsi itu, Hobbes lalu berpendapat bahwa pengetahuan harus didasarkan pada pengalaman dan observasi.[12]
            Materialisme yang dianut Thomas Hobbes dapat dijelaskan bahwa segala sesuatu yang ada bersifat bendawi yakni segala kejadian adalah gerak yang berlangsung karena keharusan dan realitas tidak bergantung pada gagasan kita, terhisap di dalam gerak itu. Sebagai penganut empirisme, ia beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman.[13]
Pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan kepada otak kemudian diteruskan ke jantung. Di dalam jantung timbullah reaksi, suatu gerak yang berlawanan. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi. Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan obyek atau sasaran kualitas dalam obyek-obyek yang sesuai dengan penginderaan kita bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar bukan benda di dalam obyek melainkan di dalam subyeknya. Sifat-sifat inderawi tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan, rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani bersandar semata-mata pada asosiasi gambaran-gambaran yang murni bersifat mekanis.[14]
Thomas Hobbes menjadi besar namanya disebabkan karena teorinya yang lebih modern tentang negara dibanding dengan teori tentang negara yang mendahuluinya. Pemikirannya didasari dengan tabiat alamiah manusia hingga dibutuhkan negara yang absolut bahkan hingga pemikiran atheisnya bahwa Allah yang dapat mati. Di antara pemikirannya antara lain:
Menurut tabiatnya segala manusia adalah sama, dalam keadaannya yang alamiah tiap manusia ingin mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang lain. Pada dasarnya manusia cenderung untuk mempertahankan dirinya sendiri karena waktu itu yang ada hanya hukum alam. Akibatnya mereka tertekan sehingga menimbulkan perang total sehingga hidup menjadi buruk, kasar dan singkat. Sebab dalam perang total itu kebijakan pokok ialah kekautan dan kecurangan agar manusia dapat bebas dari pada bahaya kehancuran, pengalaman mengajarkan bahwa akal sehat menuntut supaya tiap orang mau melepaskan haknya untuk berbuat sekehendak sendiri. Oleh karenanya mereka bersatu dan bersama-sama membuat perjanjian bahwa mereka akan tunduk kepada penguasa pusat yang mereka bentuk. Oleh karena itu warga negara tidak berhak untuk memberontak. Orang banyak yang dipersatukan demikian itu disebut “commonwealth”. Commonwelath ini disebut Leviathan, Allah yang dapat mati. Di dalam commonwealth yang dipentingkan adalah perdamaian yang awet yang tahan lama. Pemerintah harus diberi kuasa mutlak tanpa batas. Sumber segala hak, hukum, moral adalah kuasa yang memerintah. Baik dan jahat bagi perbuatan manusia diukur menurut peraturan dan larangan negara.[15]

2.  JHON LOCKE (1632-1704 M)
John Locke lahir tanggal 29 Agustus 1632 di Wrington/Somersetshire dan meninggal di Oates/Essex tanggal 28 Oktober 1704. Ia dilahirkan dari keluarga yang memihak parlemen. Sikap puritan ayahnya sedikit banyak menularkan kepada anaknya sebuah sikap tidak suka pada aristokrasi.[16]
Menurutnya segala pengetahuan datang dari pengalaman, sedangkan akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Seluruh pengetahuan kita peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan gagasan-gagasan yang diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia hanya merupakan tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil penginderaan kita. Sedangkan obyek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau idea-idea, yang timbulnya karena pengalaman lahiriyah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection) dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.[17] Reflection itu pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan apakah kepada manusia lebih baik lebih penuh dari pada sensation. Sensation merupakan suatu yang memiliki hubungan dengan dunia luar tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations manusia tak dapat juga suatu pengetahuan. Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerja sama antara sensation dan reflections. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih; tabula rasa, tak ada bekal dari siapa pun yang merupakan ide bawaan.[18]
Fokus filsafat Locke adalah antitesis pemikiran Descrates. Ia menyarankan bahwa akal budi dan spekulasi abstrak agar kita harus menaruh perhatian dan kepercayaan pada pengalaman dalam menangkap fenomena alam melalui pancaindera. Pengenalan manusia terhadap seluruh pengalaman yang dilaluinya seperti mencium, merasa, mengecap dan mendengar menjadi dasar bagi hadirnya gagasan-gagasan dan pikiran sederhana. Gagasan yang datang dari indra tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, memercayai dan meragukannya dan inilah akhirnya disebut bagian aktivitas merenung dan perenungan.[19]
Di dalam karyanya An Essay Concerning Human Understanding tahun 1689, Jhon Locke menganggap bahwa para filsuf rasionalis bahwa idea-idea tentang kenyataan itu sudah kita miliki sejak lahir. Menurutnya pikiran anak harus dianggap sebagai kertas kosong, baru dalam proses pengenalannya terhadap dunia luar sehingga pengalaman memberi kesan-kesan dalam pikirannya. Dengan demikian kebenaran dan kenyataan dipersepsi subjek melalui pengalaman dan bukan bersifat bawaan.[20]

3.  GEORGE BERKELEY (1665-1753 M)
George Berkeley lahir pada tanggal 12 Maret 1685 di Dysert Castle Irlandia dan meninggal tanggal 14 Januari 1753 di Oxford.[21] Sebagai penganut empirisme mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak belakang dengan pendapat John Locke yang masih menerima substansi dari luar. Berkeley berpendapat sama sekali tidak ada substansi-substansi material dan yang ada hanya pengalaman ruh saja karena dalam dunia material sama dengan ide-ide. Berkeley mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam layar putih sebagai benda yang riil dan hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu substansi rohani. Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang menunjukkan ide-ide pada kita dan Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita.[22]
Pandangan Berkeley ini sekilas seperti rasionalisme karena memutlakkan subjek. Jika diperhatikan lebih lanjut padangan ini termasuk empirisme, sebab pengetahuan subjek itu diperoleh lewat pengalaman, bukan prinsip-prinsip dalam rasio, meskipun pengalaman itu adalah pengalaman batin. Selanjutnya, dengan menegaskan tentang adanya sesuatu yang sama dengan pengertiannya dalam diri subjek dan juga ia beranggapan bahwa dunia adalah idea-idea kita.[23]

4.  DAVID HUME (1711-1776 M)
Hume lahir pada tanggal 7 Mei 1711 di Edinburgh Inggris dan meninggal pada tanggal 25 Agustus 1776.[24] Empirisme mendasarkan pengetahuan bersumber pada pengalaman, bukan rasio. Hume memilih pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Pengalaman itu bersifat lahiriyah (yang menyangkut dunia) dan dapat pula bersifat batiniah (yang menyangkut pribadi manusia).[25] Hume mengkritik tentang pengertian subtansi dan kausalitas (hubungan sebab akibat).[26] Ia tidak menerima subtansi, sebab yang dialami manusia hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil pengindraan langsung atas realitas lahiriah, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan.
Hume membagi kesan menjadi dua: kesan sensasi dan kesan refleksi. Kesan sensasi adalah kesan-kesan yang masuk ke dalam jiwa yang tidak diketahui sebab-musababnya. Misalnya (kita melihat sebuah meja kayu): benda yang saya lihat di depan adalah meja. Kesan refleksi adalah hasil dari gagasan. Gagasan jika muncul kembali ke dalam jiwa akan membentuk kesan-kesan baru. Kesan baru hasil pencerminan dari ide sebelumnya inilah yang disebut dengan kesan refleksi. Misalnya, (kita melihat sebuah meja dari besi): itu meja besi. Kita dapat menentukan bahwa itu meja walaupun terbuat dari bahan yang berbeda, karena sebelumnya kita sudah ada kesan sensasi terhadap meja kayu.
Sedangkan ia menolak tentang kausalitas dan menurutnya bahwa pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Hume lebih suka menyebut urutan kejadian. Jika kita bicara tentang hukum alam atau sebab akibat, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.[27]
Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya hubungan saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti api membuat air mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya "daya aktif" yang mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu tidak bisa diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan suatu peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa terdahulu.[28]

Kedudukan Empirisme Dalam Metode Ilmiah
Sistematika dalam metode ilmiah sesungguhnya merupakan manifestasi dari alur berpikir yang dipergunakan untuk menganalisis suatu permasalahan. Alur berpikir dalam metode ilmiah memberi pedoman kepada para ilmuwan dalam memecahkan persoalan menurut integritas berpikir deduksi dan induksi. Pola berpikir yang dikembangkan dalam metode ilmiah memperlihatkan dengan jelas peran penting empirisme yang menekankan pembuatan kesimpulan secara induksi. Empirisme berfungsi untuk menguji hasil penalaran terhadap permasalahan yang dibangun atas dasar deduksi. Penalaran yang dilakukan dengan mengkaji teori-teori dalam memahami permasalahan fakta hanya bisa sampai pada perumusan hipotesis. Penalaran hanya memberi jawaban sementara, bukan kesimpulan akhir.
Oleh sebab itu agar sampai kepada kesimpulan akhir, empirisme diperlukan untuk menguji berbagai kemungkinan jawaban dalam hipotesis. Untuk menguji jawaban-jawaban yang ada, ilmuwan harus masuk ke alam nyata. Fakta-fakta atau bukti-bukti yang relevan dengan obyek permasalahan harus dikumpulkan, disusun dan dianalisis. Di sinilah tugas empirisme. Namun demikian peranan empirisme bukan saja hanya berkaitan dengan tugas pencarian bukti-bukti atau yang lebih dikenal dengan pengumpulan data. Tetapi, sejak awal pengkajian masalah sebenarnya kerja empirisme sudah terlibat. Pengalaman-pengalaman ilmuwan yang berkaitan dengan obyek permasalahan sudah diperlukan dalam memberi analisis terhadap fakta permasalahan. Mekanisme ini merupakan sisi lain dari empirisme dalam metode ilmiah. Jadi empirisme tidak saja hanya diperlukan dalam pengumpulan data, tetapi sudah dimulai sejak awal perumusan masalah.[29]

Telaah Kritis atas Pemikiran Filsafat Empirisme
Dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empirirs yang diperoleh dari panca indera. Sedangkan akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain:
1.      Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil padahal tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan obyek tidak sebagaimana adanya.
2.      Indera menipu, pada orang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3.      Obyek yang menipu, contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan inderawi salah.
4.      Kelemahan ini berasal dari indera dan obyek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sisi meta) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.[30]
Metode empiris tidak dapat diterapkan dalam semua ilmu, juga menjadi kelemahan aliran ini, metode empiris mempunyai lingkup khasnya dan tidak bisa diterapkan dalam ilmu lainnya. Misalnya dengan menggunakan analisis filosofis dan rasional, filosuf tidak bisa mengungkapkan bahwa benda terdiri atas timbuanan molekul atom, bagaimana komposisi kimiawi suatu makhluk hidup, apa penyebab dan obat rasa sakit pada binatang dan manusia. Di sisi lain seluruh obyek tidak bisa dipecahkan lewat pengalaman inderawi seperti hal-hal yang immaterial.[31]
Keterbatasan empirisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) terdiri atas tiga bagian. Pertama, pengalaman yang merupakan dasar utama empirisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
Kedua, dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi panca indera. Sedangkan panca indera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan. Ketiga, di dalam empirisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Kritik lain yang juga diungkapkan oleh Brower dan Heryadi bahwa tidak mungkin unsur-unsur khusus menghasilkan suatu kebenaran yang bersifat universal. Meskipun diakui bahwa munculnya pengetahuan dan legitimasinya berasal dari pengamatan, tetapi pada kenyataan tidak semua sumber pengetahuan hanya terdapat dalam pengamatan.[32]

PENUTUP
Menurut empirisme bahwa pengetahuan yang sahih bersumber dari pengalaman. Dengan pendirian dasar itu, pandangan mereka disebut “empirisme”. Sehingga empirisme dinisbatkan kepada paham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya aliran ini sangat bertentangan dengan rasionalisme.
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2008.

Hadiwijono,  Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. 20.  Yogyakarta; Kanisius. 2007.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Cet. 2. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. 2007.



Maksum, Ali. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Jogjakarta; Ar-Ruzz Media. 2008.

Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Cet. 3. Jakarta; Kencana. 2008.

Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hekekat Ilmu. Cet. 11. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia. 1994.




[1]  Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hekekat Ilmu, Cet. 11, (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1994), Hal. 102
[2]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Cet. 2, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2007), Hal. 64
[3]   Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Jogjakarta; Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 358.
[4]  F. Budi Hardiman, Ibid,hal. 65
[5]  Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 98-99.
[6]  Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Cet. 3 (Jakarta; Kencana, 2008), Hal. 105.
[7]  Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Jogjakarta; Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 357-358.
[8]  Amsal Bakhtiar , Ibid, hal. 99.
[9]  Harun Hadiwijono,  Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. 20, (Yogyakarta; Kanisius, 2007), hal. 32.
[10]   F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 66.
[11]   Ali Maksum, Ibid, hal. 123-124.
[12]  F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 67-69.
[13]  Juhaya S. Praja, Ibid, hal. 107-109.
[14]  Ibid, hal. 109-110.
[15]  Harun Hadiwijono, Ibid, hal. 34-35.
[16]  F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 74.
[17]  Harun Hadiwijono, Ibid, hal. 36.
[18]  I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 105 (dikutip dari http://paisnews.blogspot.com/2009/01/empirisme.html )
[19]  Ali Maksum, Ibid, hal. 133.
[20]  F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 75-76.
[21]  Ibid, hal. 83.
[22]  Juhaya S. Praja, Ibid, hal. 111-112.
[23]  F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 85.
[24]  Ibid, hal. 86.
[25]  Ali Maksum, Ibid, hal. 135.
[26]  Juhaya S. Praja, Ibid, hal. 112.
[27]  Ali Maksum, Ibid, hal. 136-137.
[28]  Amsal Bakhtiar, Ibid, hal. 100-101
[30]  Ibid, hal. 102.
[31]  Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Dasar Filsafat Islam, Bandung: Mizan, tt, hlm. 58. (dikutip dari http://paisnews.blogspot.com/2009/01/empirisme.html )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar