Kamis, 02 Mei 2013

TEORI KONTINGENSI

TEORI KONTINGENSI


A.     PENDAHULUAN
Keberhasilan masyarakat atau bangsa ditentukan oleh keberhasilan seluruh organisasi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat atau bangsa itu. Sedang keberhasilan organisasi ditentukan oleh keberhasilan para manajer guna mencapai tujuan organisasi itu.[1] Telah semakin jelas bahwa meramalkan sukses kepemimpinan dirasakan lebih kompleks daripada mengisolasikan beberapa watak atau perilaku yang disukai. Kegagalan untuk memperoleh hasil yang konsisten mengarahkan kita untuk fokus pada pengaruh-pengaruh situsional. Efektivitas kepemimpinan ternyata tergantung pada situasinya, dimana kondisi situsional tadi perlu diisolasikan kalau kita ingin mengetahui tingkatan pengaruhnya. Banyak studi mencoba mengisolasikan faktor-faktor situasional yang mempunyai pengaruh penting terhadap efektivitas kepemimpinan. Misalnya, variabel-variabel penghubung yang digunakan dalam mengembangkan teori-teori kontingensi termasuk kompleksitas struktur tugas yang harus diselesaikan, kualitas hubungan antara pimpinan dan bawahan, kekuatan posisi dari si pemimpin, kejelasan peran dari bawahan, norma kelompok, kemudahan informasi, penerimaan bawahan terhadap keputusan pimpinan, dan kematangan bawahan.[2]

B.     PENDAHULUAN
Pada saat ini perubahan karakter situasional manajemen mulai dipahami  sebagai kunci kepada proses manajemen itu sendiri. Dalam bab ini kita namakan teori kontingensi. Berbagai sejarah dari berbagai bidang menunjukkan pergerakan dari prinsip-prinsip universal menuju relasi dan prinsip-prinsip situasional. Hal yang menonjol dari teori kontingensi saat ini adalah bahwasannya teori organisasi telah memasuki masa kematangan ilmiah.
Pada tahap ini teori kontingensi bukanlah semata-mata sebuah teori namun lebih sebagai alat untuk memfasilitasi kita memahami aliran situasi dari suatu kejadian dan memberi alternatif kepada organisasi atau individu untuk merespon aliran tersebut. Teori kontingensi bisa dikatakan sebagai sub bagian dari teori terbuka karena seperti teori sistem terbuka kita bisa memahami aliran yang dinamis dari situasi, personel, dan sumber yang mengambil tempat di dalam organisasi.
Dengan maksud memperoleh gambaran mengenai karakter situasional organisasi, maka chapter ini mempunyai tujuan:
1.      Untuk menguji asumsi dasar dan dasar konsepsi dari teori kontingensi.
2.      Menggambarkan teori kontingensi dari manajemen sebagai teknik respon yang fleksible terhadap kondisi yang tidak menentu dalam seting organisasi.
3.      Untuk mengidentifikasi untuk mengidentifikasi 3 kerangka kerja teori kontingensi yang mempunyai implikasi penting pada dunia pendidikan. (a) Struktur organisasi dan lingkungan, (b) pemecahan masalah dalam anarki yang terorganisir, (c) tingkah laku kerja manajerial.
4.      Untuk menyimpulkan dengan beberapa pertanyaan yang dimaksudkan untuk mengadakan garis penemuan berdasarkan teori kontingensi didalam pendidikan.

C.     Dibawah Kondisi Tidak tertentu
Sulit untuk menggambarkan pekerjaan apa pun dan menemukan apa yang diminta untuk perilaku kerja, tetapi hal itu lebih sulit lagi untuk pekerjaan-pekerjaan manajerial karena sangat banyak berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya. Tuntutan-tuntutan yang dihadapkan kepada para manajer di dalam tipe-tipe pekerjaan yang berbeda di dalam organisasi-organisasi yang berbeda bisa sangat berubah-ubah. Agar dapat memahami bagaimana dan mengapa seorang manajer di dalam sebuah pekerjaan yang spesifik berhasil memperoleh dan menggunakan kekuasaan, orang perlu memahami secara keseluruhan pekerjaan itu sendiri dan tuntutan yang dihadapkannya.[3]
Inti sari kompleksitas masalah organisasi adalah kondisi tidak menentu. Dalam kondisi tidak menentu, penentu kebijakan tidak bisa memberikan kontingensi keputusan yang tepat mengenai inisiatif yang spesifik. Oleh karenanya elemen resiko menjadi bagian dari penentu kebijakan. Organisasi, termasuk didalamnya sekolah harus tanggap terhadap isu ini yang oleh Cyert dan March sebut sebagai “pencegahan terhadap kondisi tidak menentu”. Secara singkat Cyert dan March menyimpulkan bahwa “ mereka menerima  manajemen penentuan situasi yang masuk akal dengan mencegah perencanaan dimana rencana-rencana tergantung kepada prediksi mengenai kejadian-kejadian yang tidak terduga dimasa mendatang  dan dengan penekanan pada perencanaan diamana rencana-rencana bisa dikontrol sendiri melalui beberapa alat kontrol.
Sebaliknya timbulnya teori kontingensi menunjukkan sebuah orientasi yang memungkinkan bagi kita untuk membayangkan organisasi sebagai sistem terbuka  yang tersusun dari interaksi sub unit yang berhadapaan dengan kondisi tidak tertentu. Dengan mengadaptasi struktur organisasi, perencanaan strategi dan perilaku kepemimpinan, beberapa tingkat kondisi tidak tertentu masih bisa diterima, atau paling tidak resiko bisa dihindari.

D.    Konteks Teori Kontingensi
Rencana-rencana kontingensi adalah respon pengganti yang diformulasikan untuk mempengaruhi hubungan antara  situasi (yang tidak menyenangkan) dan outcome/hasil. Dengan kata lain bisa digambarkan sebagai berikut:
A = situasi ( serangan atau masalah)
B = rencana kontingensi
C = outcome/hasil ( keamanan dan keselamatan)
Hubungan antara A dan C diperbaiki oleh B. Strategi manajemen membutuhkan informasi yang harus ada untuk menakasir dan membatasi alternatif yang disiapkan.
Teori kontingensi menekankan bahwa keragaman permintaan dan kebutuhan lingkungan menuntut keragaman respon organisasi. Prosedur operasi standar (SOP) tidak seluruhnya cocok dalam menghadapi segala jenis permintaan.
Konsep-konsep kekuatan, target dan sumber sangat penting dalam mendiagnosa karakteristik tertentu dari permintaan lingkungan. Dalam konteks pendidikan kekuatan bisa berarti goncangan yang menghadang sekolah. Target goncangan berkaitan dengan bagian dari sistem sekolah yang menjadi fokus ketidakpuasan. Sedangkan sumber goncangan bisa berarti orang tua yang sangat keras.  
  1. Asumsi dasar
Teori kontingensi berasas pada beberapa asumsi dasar mengenai organisasi dan individu, diantaranya:
-         Middle Ground. Teori kontingensi menekankan pandangannya pada 2 hal: ada middle ground antara teori manajemen universal yang ada yang bisa digunakan oleh seluruh organisasi. Setiap organisasi adalah unik.
-         Tujuan-tujuan. Kebanyakan tujuan formal dan informal organisasi tumpang tindih dan tidak terkoordinasi dengan baik serta saling bertentangan.
-         Sistem terbuka. Seluruh organisasi adalah sistem yang terbuka.
-         Performa. Tingkat performa ditentukan oleh kecocokan antara harapan eksternal dan proses internal.
-         Fungsi dasar. Fungsi dasar dari administrasi terlihat untuk membantu mensejajarkan antara teknologi dan tugas lingkungan kedalam wilayah yang dapat terus berjalan, serta antara desain organisasi dan struktur yang ada padanya.
-         Jalan terbaik. Tidak ada satu jalan terbaik untuk seluruh organisasi dan administrasi.
-         Pendekatan-pendekatan. Berbagai pendekatan manajemen dibutuhkan untuk berbagai bagian dalam satu organisasi.
-         Gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan yang berbeda diperlukan untuk menghadapi masalah yang berbeda.
-         Permulaan.  Manajer mempunyai kesempatan untuk mengatasi masalah pada saat pertama kali masalah itu timbul.
-         Informasi. Manajer tidak bisa mengetahui seluruh yang terjadi disekelilingnya.
  1. Loosely Coupled System (sistem-sistem yang terangkai dengan longggar)
Ketika mencoba mengaplikasikan teori kontingensi dalam konteks struktur organisasi, pemecahan masalah dan perilaku kerja managerial, ketiganya paling tidak mempunyai ciri umum yaitu; rangkaian yang longgar. Rangkaian yang longgar memungkinkan bagi organisasi pendidikan untuk membuat gerakan yang adaptif dalam beberapa arah yang berbeda dengan berfokus pada berbagai problem pada saat bersamaan.
Minzberg telah mengidentifikasi beberapa metode yang bisa digunakan organisasi untuk menjembatani gap dan mengetatkan kelonggaran yang terjadi; 1. saling menyesuaikan diri, koordinasi informal dalam pekerjaan, 2. supervisi langsung, satu orang mengambil tanggung jawab atas pekerjaan orang lain, 3. standarisasi kerja, memprogram konten dan prosedur kerja, 4. standarisasi output, kontrol kualitas melalui tes terstandarisasi, 5. enkulturasi, sosialisai oinformal dan training profesional memberi tekanan kepada norma organisasi

E.     Struktur Organisasi dan Lingkungan
Para pakar pioner teori kontingensi (contingency theory) yang meletakkan konsepsi dasar struktur organisasi adalah Woodward, Burns dan Stalker, Thomson dan  Lawrence serta Lorsch.
Lawrence dan Lorch adalah penggerak utama yang menjadikan teori kontingensi sebagai lapangan penelitian. Berdasarkan penelitian mereka terhadap 10 organisasi dengan level ekonomi yang berbeda pada 3 jenis perusahaan yang berbeda, mereka berpendapat bahwa organisasi yang berbeda menghadapi lingkungan yang berbeda, seperti dari tidak tertentu ke tertentu, dari homogen menjadi bermacam-macam. Karkteristik lingkungan yang berbeda menghasilkan tipe struktur yang berbeda dan proses yang sesuai dengan organisasi.
Pada organisasi yang mempunyai lingkungan tidak menentu dan bermacam-macam, untuk mencapai tingkat efisiensi tinggi, hendaknya menyusun sub sistem yang berbeda dan integral. Organisasi butuh untuk membedakan antar sub unit karena masing-masing mempunyai tugas yang berbeda dengan lingkungan yang berbeda. Didalam organisasi yang terdiferensiasi, integrasi sangat penting. Integrasi mengacu pada kualitas kolaborasi untuk mencapai persamaan usaha. Kolaborasi ini bisa berbentuk prosedur yang fleksibel, komunikasi terbuka, sharing informasi dan lain-lain.
Sebaliknya pada organisasi yang beroperasi dengan lingkungan yang homogen membutuhkan model operasi yang mekanis.  Oleh karenanya, menentu dan tidak menentunya lingkungan serta homogen dan variatif menjadi kunci variabel situasi untuk menentukan bentuk organisasi dan administrasi yang paling efektif dan efisien.
Berkaitan dengan keterkaitan organisasi dengan lingkungan Katz dan Rosenzweig berpendapat:
-         organisasi yang tertutup/stabil/mekanis lebih tepat menggunakan aktifitas yang rutin untuk mencapai tujuan utama dengan menggunakan teknologi yang seragam dan cukup stabil, dimana pengambilan keputusan telah terprogram dan kekuatan lingkungan cukup stabil serta tertentu.
-         Organisasi yang terbuka/adaptif/ organik, maka aktifitasnya lebih baik tidak rutin, dimana kreatifitas dan inovasi sangat penting.

F.      Pemecahan Masalah dalam Anarki yang Terorganisir
Cohen, March dan olsen berpendapat organisasi sekolah bisa dipahami sebagai anarki yang terorganisir karena 3 hal : 1. Tujuan biasanya ambigu dan kadang tidak konsisten, 2. Teknologi untuk bekerja tidak jelas bahkan untuk peserta, 3. Karakteristik utama ketiga adalah partisipasi yang berubah-ubah dari anggotanya.
Sebagai pemecahan masalah ini mereka membuat bentuk pemecahan masalah yang dinamakan dengan Garbage Can Model ( model bak sampah)
Pemecahan Masalah Model Bak Sampah
Cohen dan rekan-rekannya berpendapat bahwa keputusan dalam anarki yang terorganisir akhirnya adalah produk dari 3 aliran relatif independent yang saling bercampur baur dalam kesempatan pilihan yang muncul dalam organisasi. Pertama adalah aliran konstan masalah yang berasal dari dalam dan luar menuju kedalam sistem. Sekolah tidak pernah sepi dari masalah, seakan-akan hal ini tiada habisnya, seperti skore membaca yang terlalu rendah, regu basket sekolah membutuhkan helm baru, guru bahasa inggris tidak bisa berbicara bahasa Inggris dll. Aliran kedua adalah aliran konstan solusi,setiap orang mempunyai solusi untuk masalah-masalah mereka sendiri. Aliran ketiga adalah partisipasi yang berubah-ubah dari partisipannya, ketika mereka memilih untuk terikat dengan waktu dan tenaga, mereka bisa konsentrasi penuh terhadap masalah tertentu.
Model bak sampah mengacu kepada pilihan kesempatan (choice opportunities) atau kesempatan-kesempatan ketika organisasi diharapkan mampu membuat keputusan pemecahan masalah. Pilihan kesempatan muncul ketika perhatian terpusat pada sebuah kejadian, contohnya ada guru baru yang direkrut. Beberapa kejadian memfokuskan perhatian dan menyediakan kesempatan untuk mengubah sesuatu.
Estler membuat catatan penting bahwasanya model bak sampah adalah sebuah usaha untuk memformulasikan sebuah model yang rasional (logis, deduktif) untuk menjelaskan kejadian yang tidak rasional.
Berdasarkan observasi Estler, maka model bak sampah memungkinkan untuk menggambarkan chaos dan proses chaos itu sendiri. Weiner menawarkan beberapa saran taktis bagi para manager yang melihat pemecahan masalah dalam term model bak sampah.
1.      Mengalihkan oposisi dengan memberikan lawan terhadap isu yang akan menyerap banyak tenaga mereka. Jika isu yang digulirkan tidak juga menarik perhatian, maka buat isu tersebut
2.      Mengenali batas waktu dan energi yang kita punya dan selektif  terhadap keputusan yang akan dibuat.
3.      Menentukan deadline dengan hati-hati, karena bisa jadi mereka bekerja untukmu atau melawan kamu. Jika kamu tidak bisa menentukan deadline maka cobalah menggunakan kelompok penekan atau hukum.
4.      Gunakan teman diluar lingkungan organisasi untuk menjadi asisten. Karena mereka mungkin mempunyai pengalaman, prestis dan  kemampuan yang akan menolong.

G.    Perilaku Kerja Manajerial
Pada tahun 1930-an Minzberg memulai penelitian dengan metode yang disebut observasi terstruktur. Penelitian ini mengobservasi 5 pimpinan eksekutif organisasi menengah sampai besar dalam waktu masing-masing 1 minggu.
Dari penelitian tersebut Minzberg mempunyai 2 set kesimpulan. Kesimpulan pertama berkaitan dengan karakteristik kerja manajerial, termasuk didalamnya analisis numerik mengenai bagaimana, dengan siapa, dan dalam kondisi seperti apa seorang manager menghabiskan waktu. Kesimpulan kedua mengidentifikasi isi kerja manajerial dalam peran nyata yang dibutuhkan untuk menunjukkan kerja tersebut.
Kesimpulannya mengenai karakteristik spesial dan isi kerja manajerial berjalan dengan beberapa riset pendukung sebagai berikut :
1.      Karakteristik pertama : manajer menunjukkan kerja dalam jumlah yang banyak untuk memberi teladan yang tiada henti.
2.      Karakter kedua : aktifitas managerial berciri khas keberagaman, fragmentasi dan  kecekatan.
3.      Karakteristik ketiga : para manager memilih isu-isu yang tertentu,spesisfik dan sementara.
4.      Karakter keempat : para manager berada diantara organisasinya  dan jaringan relasinya.
5.      Karakter kelima : para manager memperlihatkan pilihan yang kuat untuk media verbal.
6.      Karakter keenam : meskipun tanggung jawabnya begitu banyak, para manager memperlihatkan mampu mengontrol affair mereka.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            
H.    Peran-peran kerja Manajer
Menurut Henri Minzberg bahwa peranan manajer itu ada tiga, yaitu peranan yang bersifat interpersonal, informasional dan pengambil keputusan. Peranan yang bersifat interpersonal, mencakup tiga hal, yaitu sebagai figur, pemimpin dan penghubung. Peranan manajer yang bersifat informasional, yaitu sebagai monitor, desiminator/peran penyebar informasi dan juru bicara. Sedangkan Peranan manajer sebagai pengambil keputusan mencakup empat subperan, yaitu sebagai enterpreneur, penghadang kesulitan, pengatur sumber dan wakil organisasi dalam membina hubungan kerja.[4]
Dari paparan di atas dapat digambarkan bahwa: 1) Hubungan pemimpin-anggota. Hal ini merupakan variabel yang paling penting di dalam menentukan situasi yang menyenangkan tersebut. 2) Derajat dari struktur tugas. Dimensi ini merupakan masukan yang amat penting, dalam menentukan situasi yang menyenangkan. 3) Posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal. Dimensi ini merupakan dimensi yang amat penting ketiga di dalam situasi yang menyenangkan.[5]


[1]  Marno dan Triyo Supriyatno, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam, (Bandung; Refika Aditama, 2008), Hal. 49.
[2]  Makmuri Muchlas, Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008), Hal. 327
[3]   John P. Kotter, Power In Management: Kekuatan dalam Kekuasaan (terj.), (Yogyakarta; Pinkbooks, 2003),  hal. 73.
[4]   Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta; Erlangga, 2007),  Hal. 231-232.
[5]   Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 292.