Senin, 29 April 2013

IBNU MISKAWAIH

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam khasanah ilmu, filsafat diartikan sebagai berpikir bebas, radikal dan berada dalam dataran makna. Bebas artinya tidak ada yang menghalangi pikiran bekerja, dan radikal yaitu sampai ke akar suatu masalah.[1] Sedangkan Filsafat Islam artinya berpikir yang bebas, radikal, dan berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati.[2] bidang filsafat Islam banyak diwarnai oleh karya-karya beberapa filosof yang mempunyai pandangan yang cemerlang, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Misalnya Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Karya Ibn Sina yang terkenal diantaranya adalah al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Selain tokoh filsafat tersebut, masih ada tokoh besar dalam khazanah filsafat Islam. Dua nama diantaranya adalah Ibnu Miskawaih dan Ibnu Thufail. Ibnu Miskawaih terkenal dengan pemikiran tentang al nafs dan al akhlaq, sedangkan Ibnu Thufail terkenal dengan pemikirannya yang salah satunya dalam roman filsafatnya yang terkenal Hayy bin Yaqdhan.[3] Dalam hal ini kami membatasi diri pada pemikiran Ibnu Maskawaih tentang filsafat al-nafs dan al-akhlaq. Sebelum membahas tentang filsafat al nafs dan akhlak milik Ibnu Miskawaih, terlebih dahulu kami mengulas sedikit tentang riwayat hidup Ibnu Miskawaih.
BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih
Miskawaih (Maskawiyyah, Ibnu Miskawaih) dengan nama lengkap yaitu Ahmad Ibn Muhammad ibn Ya’qub ibnu Miskawaih, disebut pula Abu Ali Al-Khazin. Ibnu Miskawaih lahir di Rayy (Teheran sekarang) yang diperkirakan tahun 320H/932M dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421H / 16 Pebruari 1030M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi yang para pemukanya berfaham Syi’ah. Ibnu Miskawaih mempunyai guru dalam bidang sejarah bernama Abu Bakr Ahmad ibn Kamil Al-Qadi (350 H/ 960 M) dan menyerap filsafat dari Ibnu al-Khammar yang memperkenalkan  dengan karya-karya Aristoteles. Dari Abu Al-Thayyib Al-Razi – seorang ahli kimia – ia menimba kimianya[4]
Ibnu Miskawaih merupakan sejarawan besar yang memegang jabatan tinggi di istana khalifah dinasti Buwaihi yaitu pada masa ‘Adhud al-Dawlah (tahun 367 H - 372 H).[5] Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud al Dawlah. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Ibnu Miskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itu, Ibnu Miskawaih lalu tertarik untuk menitik beratkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
2.2  Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih
a.      Filsafat al-Nafs
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa munculnya banyak materi di alam semesta ini terjadi karena emanasi (pancaran) dari Yang Maha Satu. Tuhan menjadikan Akal-akal sebagai inti bagi dua alam: makro kosmos dan mikro kosmos. Menurutnya masing-masing Akal mempunyai pemikiran yaitu berfikir tentang Penciptanya dan berpikir tentang dirinya. Yang mula pertama di jadikan Tuhan adalah Akal. Akal tersebut merupakan Wujud Kedua. Akal I sebagai wujud II  ini berpikir tentang Penciptanya menimbulkan Wujud III/Akal II dan berpikir tentang diri-Nya menghasilkan langit-langit tertinggi. Wujud III/Akal II berpikir tentang Penciptanya menghasilkan Wujud IV/Akal III dan berpikir tentang dirinya menghasilkan bintang-bintang. Aktivitas Akal-akal berikutnya sama dengan Akal-akal sebelumnya. Wujud IV/Akal III menghasilkan Wujud V/Akal IV dan Saturnus. Wujud V/Akal IV menghasilkan Wujud VI/Akal V dan Yupiter. Wujud VI/Akal V menghasilkan Wujud VII/Akal VI dan Mars. Wujud VII/Akal VI menghasilkan Wujud VIII/Akal VII dan Matahari. Wujud VIII/Akal VII menghasilkan Wujud IX/Akal VIII dan Venus. Wujud IX/Akal VIII menghasilkan Wujud X/Akal IX dan Merkuri. Wujud X/Akal IX menghasilkan Wujud XI/Akal X dan Bulan. Dari Akal X inilah muncul bumi beserta isinya yang menjadi dasar materi asal yang berupa empat unsur: api, udara, air dan tanah. Unsur-unsur tersebut lahirlah alam mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Kesepuluh Akal itu menurutnya sejak awalnya sudah di jadikan secara sempurna, dan Akal-akal ini adalah Akal-akal Aktif. Sedangkan akal manusia yang tertinggi bisa berhubungan dengan Akal Aktif adalah akal perolehan lalu akal aktuil dan yang paling bawah adalah akal material.[6]
Hasil lain dari teori emanasi tersebut dijadikan untuk mengukur tingkat keabadian sesuatu dengan menggunakan tolak ukur penggerak dan cara bergeraknya. Menurutnya, ada dua macam penggerak: gerak thabi’at (mengalami kerusakan) dan gerak al-nafs atau gerak melingkar (tidak mengalami kerusakan). Menurutnya penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia.[7]
Di dalam bukunya Tahdzib Al-Akhlaq wa Tath-hir Al-A’raq, Ibnu Miskawaih menguraikan bahwa pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa, yaitu daya bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyyat), daya berani (al-Nafs al-Sabu’iyyat), dan daya berfikir (al-Nafs al-Nathiqat). Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.[8]
Setelah mengetahui duduk persoalan mengenai jasad, jiwa sebagai natur[9] jasad, dan jiwa dari pancaran Tuhan, maka dapat diarahkan pada tiga macam hubungan yaitu:
1)   Hubungan jiwa sebagai natur materi dengan jasad, yang akan melahirkan dua kemampuan: fisik (berupa indra-indra yang lima) dan ruhani (terdiri dari indra bersama, imajinasi, rekoleksi dan khusus bagi manusia ada kemampuan berfikir). Dalam hubungan ini belum mampu melahirkan kesadaran diri sebagai manusia.
2)   Hubungan jiwa sebagai natur materi dengan jiwa yang berasal dari ruh Tuhan. Dalam hal ini manusia telah mampu melahirkan kesadaran diri sebagai manusia karena jiwa berfikir ini berfungsi sebagai kendali yang mengontrol dan memimpin jiwa bernafsu dan jiwa berani.
3)   Hubungan jiwa yang berasal dari ruh Tuhan dengan jasad, bahwa jiwa yang berasal dari ruh Tuhan mempunyai aktivitas tersendiri  secara khusus tanpa menggunakan alat yang terdapat dalam tubuh manusia. Jiwa berpikir memiliki dua daya: teoritis dan praktis. Sedangkan ruh Tuhan yang ditiupkan pada janin manusia pada hakikatnya adalah akal/’aql yang mempunyai dua aspek: yang hubungannya dengan materi disebut praktis, dimana cara kerjanya menggunakan otak dan yang hubungannya bukan dengan materi atau abstrak disebut teroritis.
Menurut Ibnu Miskawaih, dari ketiga hubungan jiwa-jasad di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua jenis hubungan: 1) hubungan saling mempengaruhi yang terjadi antara jiwa bernafsu dan jiwa berani dengan jasad, dan 2) gerak melingkar yang terjadi antara jiwa berpikir dan jasad. Dalam hubungan saling mempengaruhi, akan timbul dorongan pada diri manusia untuk membangun alam dan sebaliknya dorongan untuk merusaknya dan ini terjadi pada materi, maka akan hancur jika jasad manusia hancur. Sedangkan gerak melingkar pada jiwa al-nâthiqat melahirkan dorongan ketuhanan. Maka, jika gerak ke atas (ke intelegensia) akan membawa manusia untuk lebih dekat kepada Tuhan dan gerak ke bawah (alam materi) akan membawa manusia semakin jauh dari Tuhan.[10]
            Dalam karya tulis Ibnu Miskawaih yang berjudul Tahdzib Al-Akhlaq wa Tath-hir Al-A’raq, menyatakan di mukadimahnya bahwa tujuan menulis buku tersebut adalah untuk mengembangkan nilai moralitas dalam jiwa. Jalan terbaik untuk mewujudkan moralitas adalah memahami lebih dulu seluk beluk jiwa. Menurut konsepsi Miskawaih, jiwa dilukiskan sebagai sesuatu yang bersifat imaterial, bukan bagian tubuh, tidak membutuhkan tubuh, tidak dapat ditangkap oleh panca indera jasmani, dan merupakan subtansi sederhana. Ibnu Miskawaih juga menjelaskan bahwa faktor yang membedakan jiwa manusia dengan jiwa binatang ialah adanya potensi akal dalam jiwa manusia, sedang potensi akal tidak untuk memiliki pengetahuan teoritis (memiliki gambaran yang benar tentang realitas) dan pengetahuan praktis ( pengetahuan tentang perbuatan baik dan buruk sehingga mendorong untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk).[11]

b.  Filsafat al-Akhlaq
Filsafat etika yang dipopulerkan oleh Ibnu Miskawaih adalah filsafat etika yang berdasarkan pada doktrin jalan tengah. Ibnu Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur‘ân dan tidak pula membawa satu dalil dari hadis. Akan tetapi menurut penilaian al-Ghazâlî, bahwa spirit doktrin jalan tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur‘ân yang memberi isyarat untuk itu, misalnya tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat di antara kikir dan boros. Hal ini sejalan dengan ayat al-Qur‘ân surat al-Isra: 29 dan al-Furqon: 67. Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran Islam.[12]
Inti teori jalan tengah ini menyebutkan bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Posisi tengah daya bernafsu adalah menjaga kesucian diri yang terletak antara mengumbar nafsu dan mengabaikan nafsu. Posisi tengah daya berani adalah keberanian yang terletak antara pengecut dan nekad. Posisi tengah daya berfikir adalah kebijaksanaan yang terletak antara kedunguan dan kelancangan. Kombinasi dari tiga keutamaan membuahkan sebuah keutamaan yang berupa keadilan. Keadilan ini merupakan posisi tengah antara berbuat aniaya dan teraniaya. Selanjutnya setiap keutamaan tersebut memiliki cabangnya masing-masing. Kebijaksanaan memiliki tujuh cabang, yaitu ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar. Menjaga kesucian diri memiliki 12 cabang, yaitu malu, ketenangan, sabar, dermawan, kemerdekaan, bersahaja, kecenderungan kepada kebaikan, keteraturan, menghias diri dengan kebaikan, meninggalkan yang tidak baik, ketenangan, dan kehati-hatian. Adapun keberanian berkembang menjadi 9 cabang, yaitu berjiwa besar, pantang takut, ketenangan, keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan, dan memiliki daya tahan yang kuat atau senang bekerja berat. Sementara keadilan oleh Ibnu Miskawaih dibagi ke dalam tiga macam, yaitu keadilan alam, keadilan adat istiadat, dan keadilan Tuhan. Selanjutnya Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa posisi jalan tengah tersebut bisa diraih dengan memadukan fungsi syariat dan filsafat. Syariat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa berani. Sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berfikir.[13]
Doktrin jalan tengah ini dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya paling tidak pada tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan aktivitas. Sebagai makhluk sosial, selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan maupun kelebihannya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi untuk masyarakat mahasiswa misalnya tidak dapat disamakan dengan masyarakat dosen. Demikian pula ukuran tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju akan berbeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara berkembang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus-menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai hakiki dari pokok keutamaan akhlak. Jadi dengan doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.[14] Pokok keutamaan akhlak menurut Ibnu Miskawaih yaitu terciptanya keharmonisan pribadi dengan lingkungannya: sesama manusia, alam dan Tuhan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh kemampuan manusia dalam mengharmonisasikan jiwa bernafsu, berani dan berpikir yang ada pada dirinya dan dengan pihak di luar dirinya.[15]
Ibnu Miskawaih memberikan pengertian akhlak itu sebagai keadaan jiwa yang mendorong ke arah melahirkan perbuatan tanpa pemikiran dan penelitian.[16] Lebih tepatnya akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendorong lahirnya perbuatan secara spontan. Dari sini pula Ibnu Miskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq yang bertujuan terciptanya manusia yang berperilaku ketuhanan. Perilaku seperti ini muncul dari akal ketuhanan yang ada dalam diri manusia secara spontan. Ibnu Miskawaih dalam memberikan motivasi kepada diri sendiri dan orang lain untuk mencontoh akhlak Nabi.[17] Maka dapat dipahami manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Ibnu Miskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan akhlaq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan.[18] Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pendidikan anak-anak. Ia menyebutkan bahwa masa kanak-kanak mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulailah ufuk manusiawi. Karena itu, sedini mungkin anak-anak harus dididik dan mendapatkan pendidikan akhlak mulia. Sebagai kesan pada pendidikan dini inilah yang akan berakar kuat dalam kehidupan mereka di masa yang akan datang.[19]  
BAB III
PENUTUP

            Maka dapat dipahami dari uraian di atas tentang pemikiran Ibnu Miskawaih dalam filsafatnya yaitu filsafat al-nafs dan filsafat al-akhlaq. Menurutnya bagaimana manusia bisa mengembangkan nilai moralitas dalam jiwa, yang terlebih dahulu memahami seluk beluk jiwa. Menurut konsepsi Miskawaih, jiwa dilukiskan sebagai sesuatu yang bersifat imaterial, bukan bagian tubuh, tidak membutuhkan tubuh, tidak dapat ditangkap oleh panca indera jasmani, dan merupakan subtansi sederhana. Ibnu Miskawaih juga menjelaskan bahwa faktor yang membedakan jiwa manusia dengan jiwa binatang ialah adanya potensi akal dalam jiwa manusia, sedang potensi akal tidak untuk memiliki pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Serta Ibnu Miskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq yang bertujuan terciptanya manusia yang berperilaku ketuhanan. Perilaku seperti ini muncul dari akal ketuhanan yang ada dalam diri manusia secara spontan. Ibnu Miskawaih dalam memberikan motivasi kepada diri sendiri dan orang lain untuk mencontoh akhlak Nabi.


DAFTAR PUSTAKA

Asy’arie, Musa. Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam berpikir. Yogyakarta: LESFI. 2002

Bahasa, Tim Penyusun Kamus Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Dasoeki, Thawil Akhyar.  Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: Dina Utama Semarang/ DIMAS, 1993.

Drajat, Amroeni. Filsafat Islam. Jakarta: Erlangga, 2006.

Hitti, Plihip K. History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.


Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih. Yogyakarta: Belukar, 2004.



[1]  Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam berpikir (Yogyakarta: LESFI, 2002), hal. 1-2.
[2]  Ibid.,hal. 6.
[4] Thawil Akhyar Dasoeki,  Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang: Dina Utama Semarang/ DIMAS, 1993), hal. 47.
[5] Plihip K. Hitti, (terjemahan) History of The Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 488.
[6]  Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih  (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 73-74.
[7]   Ibid, hal. 75-76.
[8] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 89.
[9]   Natur : alam semesta dan segala yang diciptakan oleh Tuhan; alam beserta isinya. Lihat Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal 776.
[10] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih  (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 78-85.
[11]  Amroeni Drajat, Filsafat Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 44-45.
[14]  Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih  (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 94-96.
[15]  Ibid, hal. 113.
[17] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih  (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 119