Kamis, 02 Mei 2013

TEORI KONTINGENSI

TEORI KONTINGENSI


A.     PENDAHULUAN
Keberhasilan masyarakat atau bangsa ditentukan oleh keberhasilan seluruh organisasi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat atau bangsa itu. Sedang keberhasilan organisasi ditentukan oleh keberhasilan para manajer guna mencapai tujuan organisasi itu.[1] Telah semakin jelas bahwa meramalkan sukses kepemimpinan dirasakan lebih kompleks daripada mengisolasikan beberapa watak atau perilaku yang disukai. Kegagalan untuk memperoleh hasil yang konsisten mengarahkan kita untuk fokus pada pengaruh-pengaruh situsional. Efektivitas kepemimpinan ternyata tergantung pada situasinya, dimana kondisi situsional tadi perlu diisolasikan kalau kita ingin mengetahui tingkatan pengaruhnya. Banyak studi mencoba mengisolasikan faktor-faktor situasional yang mempunyai pengaruh penting terhadap efektivitas kepemimpinan. Misalnya, variabel-variabel penghubung yang digunakan dalam mengembangkan teori-teori kontingensi termasuk kompleksitas struktur tugas yang harus diselesaikan, kualitas hubungan antara pimpinan dan bawahan, kekuatan posisi dari si pemimpin, kejelasan peran dari bawahan, norma kelompok, kemudahan informasi, penerimaan bawahan terhadap keputusan pimpinan, dan kematangan bawahan.[2]

B.     PENDAHULUAN
Pada saat ini perubahan karakter situasional manajemen mulai dipahami  sebagai kunci kepada proses manajemen itu sendiri. Dalam bab ini kita namakan teori kontingensi. Berbagai sejarah dari berbagai bidang menunjukkan pergerakan dari prinsip-prinsip universal menuju relasi dan prinsip-prinsip situasional. Hal yang menonjol dari teori kontingensi saat ini adalah bahwasannya teori organisasi telah memasuki masa kematangan ilmiah.
Pada tahap ini teori kontingensi bukanlah semata-mata sebuah teori namun lebih sebagai alat untuk memfasilitasi kita memahami aliran situasi dari suatu kejadian dan memberi alternatif kepada organisasi atau individu untuk merespon aliran tersebut. Teori kontingensi bisa dikatakan sebagai sub bagian dari teori terbuka karena seperti teori sistem terbuka kita bisa memahami aliran yang dinamis dari situasi, personel, dan sumber yang mengambil tempat di dalam organisasi.
Dengan maksud memperoleh gambaran mengenai karakter situasional organisasi, maka chapter ini mempunyai tujuan:
1.      Untuk menguji asumsi dasar dan dasar konsepsi dari teori kontingensi.
2.      Menggambarkan teori kontingensi dari manajemen sebagai teknik respon yang fleksible terhadap kondisi yang tidak menentu dalam seting organisasi.
3.      Untuk mengidentifikasi untuk mengidentifikasi 3 kerangka kerja teori kontingensi yang mempunyai implikasi penting pada dunia pendidikan. (a) Struktur organisasi dan lingkungan, (b) pemecahan masalah dalam anarki yang terorganisir, (c) tingkah laku kerja manajerial.
4.      Untuk menyimpulkan dengan beberapa pertanyaan yang dimaksudkan untuk mengadakan garis penemuan berdasarkan teori kontingensi didalam pendidikan.

C.     Dibawah Kondisi Tidak tertentu
Sulit untuk menggambarkan pekerjaan apa pun dan menemukan apa yang diminta untuk perilaku kerja, tetapi hal itu lebih sulit lagi untuk pekerjaan-pekerjaan manajerial karena sangat banyak berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya. Tuntutan-tuntutan yang dihadapkan kepada para manajer di dalam tipe-tipe pekerjaan yang berbeda di dalam organisasi-organisasi yang berbeda bisa sangat berubah-ubah. Agar dapat memahami bagaimana dan mengapa seorang manajer di dalam sebuah pekerjaan yang spesifik berhasil memperoleh dan menggunakan kekuasaan, orang perlu memahami secara keseluruhan pekerjaan itu sendiri dan tuntutan yang dihadapkannya.[3]
Inti sari kompleksitas masalah organisasi adalah kondisi tidak menentu. Dalam kondisi tidak menentu, penentu kebijakan tidak bisa memberikan kontingensi keputusan yang tepat mengenai inisiatif yang spesifik. Oleh karenanya elemen resiko menjadi bagian dari penentu kebijakan. Organisasi, termasuk didalamnya sekolah harus tanggap terhadap isu ini yang oleh Cyert dan March sebut sebagai “pencegahan terhadap kondisi tidak menentu”. Secara singkat Cyert dan March menyimpulkan bahwa “ mereka menerima  manajemen penentuan situasi yang masuk akal dengan mencegah perencanaan dimana rencana-rencana tergantung kepada prediksi mengenai kejadian-kejadian yang tidak terduga dimasa mendatang  dan dengan penekanan pada perencanaan diamana rencana-rencana bisa dikontrol sendiri melalui beberapa alat kontrol.
Sebaliknya timbulnya teori kontingensi menunjukkan sebuah orientasi yang memungkinkan bagi kita untuk membayangkan organisasi sebagai sistem terbuka  yang tersusun dari interaksi sub unit yang berhadapaan dengan kondisi tidak tertentu. Dengan mengadaptasi struktur organisasi, perencanaan strategi dan perilaku kepemimpinan, beberapa tingkat kondisi tidak tertentu masih bisa diterima, atau paling tidak resiko bisa dihindari.

D.    Konteks Teori Kontingensi
Rencana-rencana kontingensi adalah respon pengganti yang diformulasikan untuk mempengaruhi hubungan antara  situasi (yang tidak menyenangkan) dan outcome/hasil. Dengan kata lain bisa digambarkan sebagai berikut:
A = situasi ( serangan atau masalah)
B = rencana kontingensi
C = outcome/hasil ( keamanan dan keselamatan)
Hubungan antara A dan C diperbaiki oleh B. Strategi manajemen membutuhkan informasi yang harus ada untuk menakasir dan membatasi alternatif yang disiapkan.
Teori kontingensi menekankan bahwa keragaman permintaan dan kebutuhan lingkungan menuntut keragaman respon organisasi. Prosedur operasi standar (SOP) tidak seluruhnya cocok dalam menghadapi segala jenis permintaan.
Konsep-konsep kekuatan, target dan sumber sangat penting dalam mendiagnosa karakteristik tertentu dari permintaan lingkungan. Dalam konteks pendidikan kekuatan bisa berarti goncangan yang menghadang sekolah. Target goncangan berkaitan dengan bagian dari sistem sekolah yang menjadi fokus ketidakpuasan. Sedangkan sumber goncangan bisa berarti orang tua yang sangat keras.  
  1. Asumsi dasar
Teori kontingensi berasas pada beberapa asumsi dasar mengenai organisasi dan individu, diantaranya:
-         Middle Ground. Teori kontingensi menekankan pandangannya pada 2 hal: ada middle ground antara teori manajemen universal yang ada yang bisa digunakan oleh seluruh organisasi. Setiap organisasi adalah unik.
-         Tujuan-tujuan. Kebanyakan tujuan formal dan informal organisasi tumpang tindih dan tidak terkoordinasi dengan baik serta saling bertentangan.
-         Sistem terbuka. Seluruh organisasi adalah sistem yang terbuka.
-         Performa. Tingkat performa ditentukan oleh kecocokan antara harapan eksternal dan proses internal.
-         Fungsi dasar. Fungsi dasar dari administrasi terlihat untuk membantu mensejajarkan antara teknologi dan tugas lingkungan kedalam wilayah yang dapat terus berjalan, serta antara desain organisasi dan struktur yang ada padanya.
-         Jalan terbaik. Tidak ada satu jalan terbaik untuk seluruh organisasi dan administrasi.
-         Pendekatan-pendekatan. Berbagai pendekatan manajemen dibutuhkan untuk berbagai bagian dalam satu organisasi.
-         Gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan yang berbeda diperlukan untuk menghadapi masalah yang berbeda.
-         Permulaan.  Manajer mempunyai kesempatan untuk mengatasi masalah pada saat pertama kali masalah itu timbul.
-         Informasi. Manajer tidak bisa mengetahui seluruh yang terjadi disekelilingnya.
  1. Loosely Coupled System (sistem-sistem yang terangkai dengan longggar)
Ketika mencoba mengaplikasikan teori kontingensi dalam konteks struktur organisasi, pemecahan masalah dan perilaku kerja managerial, ketiganya paling tidak mempunyai ciri umum yaitu; rangkaian yang longgar. Rangkaian yang longgar memungkinkan bagi organisasi pendidikan untuk membuat gerakan yang adaptif dalam beberapa arah yang berbeda dengan berfokus pada berbagai problem pada saat bersamaan.
Minzberg telah mengidentifikasi beberapa metode yang bisa digunakan organisasi untuk menjembatani gap dan mengetatkan kelonggaran yang terjadi; 1. saling menyesuaikan diri, koordinasi informal dalam pekerjaan, 2. supervisi langsung, satu orang mengambil tanggung jawab atas pekerjaan orang lain, 3. standarisasi kerja, memprogram konten dan prosedur kerja, 4. standarisasi output, kontrol kualitas melalui tes terstandarisasi, 5. enkulturasi, sosialisai oinformal dan training profesional memberi tekanan kepada norma organisasi

E.     Struktur Organisasi dan Lingkungan
Para pakar pioner teori kontingensi (contingency theory) yang meletakkan konsepsi dasar struktur organisasi adalah Woodward, Burns dan Stalker, Thomson dan  Lawrence serta Lorsch.
Lawrence dan Lorch adalah penggerak utama yang menjadikan teori kontingensi sebagai lapangan penelitian. Berdasarkan penelitian mereka terhadap 10 organisasi dengan level ekonomi yang berbeda pada 3 jenis perusahaan yang berbeda, mereka berpendapat bahwa organisasi yang berbeda menghadapi lingkungan yang berbeda, seperti dari tidak tertentu ke tertentu, dari homogen menjadi bermacam-macam. Karkteristik lingkungan yang berbeda menghasilkan tipe struktur yang berbeda dan proses yang sesuai dengan organisasi.
Pada organisasi yang mempunyai lingkungan tidak menentu dan bermacam-macam, untuk mencapai tingkat efisiensi tinggi, hendaknya menyusun sub sistem yang berbeda dan integral. Organisasi butuh untuk membedakan antar sub unit karena masing-masing mempunyai tugas yang berbeda dengan lingkungan yang berbeda. Didalam organisasi yang terdiferensiasi, integrasi sangat penting. Integrasi mengacu pada kualitas kolaborasi untuk mencapai persamaan usaha. Kolaborasi ini bisa berbentuk prosedur yang fleksibel, komunikasi terbuka, sharing informasi dan lain-lain.
Sebaliknya pada organisasi yang beroperasi dengan lingkungan yang homogen membutuhkan model operasi yang mekanis.  Oleh karenanya, menentu dan tidak menentunya lingkungan serta homogen dan variatif menjadi kunci variabel situasi untuk menentukan bentuk organisasi dan administrasi yang paling efektif dan efisien.
Berkaitan dengan keterkaitan organisasi dengan lingkungan Katz dan Rosenzweig berpendapat:
-         organisasi yang tertutup/stabil/mekanis lebih tepat menggunakan aktifitas yang rutin untuk mencapai tujuan utama dengan menggunakan teknologi yang seragam dan cukup stabil, dimana pengambilan keputusan telah terprogram dan kekuatan lingkungan cukup stabil serta tertentu.
-         Organisasi yang terbuka/adaptif/ organik, maka aktifitasnya lebih baik tidak rutin, dimana kreatifitas dan inovasi sangat penting.

F.      Pemecahan Masalah dalam Anarki yang Terorganisir
Cohen, March dan olsen berpendapat organisasi sekolah bisa dipahami sebagai anarki yang terorganisir karena 3 hal : 1. Tujuan biasanya ambigu dan kadang tidak konsisten, 2. Teknologi untuk bekerja tidak jelas bahkan untuk peserta, 3. Karakteristik utama ketiga adalah partisipasi yang berubah-ubah dari anggotanya.
Sebagai pemecahan masalah ini mereka membuat bentuk pemecahan masalah yang dinamakan dengan Garbage Can Model ( model bak sampah)
Pemecahan Masalah Model Bak Sampah
Cohen dan rekan-rekannya berpendapat bahwa keputusan dalam anarki yang terorganisir akhirnya adalah produk dari 3 aliran relatif independent yang saling bercampur baur dalam kesempatan pilihan yang muncul dalam organisasi. Pertama adalah aliran konstan masalah yang berasal dari dalam dan luar menuju kedalam sistem. Sekolah tidak pernah sepi dari masalah, seakan-akan hal ini tiada habisnya, seperti skore membaca yang terlalu rendah, regu basket sekolah membutuhkan helm baru, guru bahasa inggris tidak bisa berbicara bahasa Inggris dll. Aliran kedua adalah aliran konstan solusi,setiap orang mempunyai solusi untuk masalah-masalah mereka sendiri. Aliran ketiga adalah partisipasi yang berubah-ubah dari partisipannya, ketika mereka memilih untuk terikat dengan waktu dan tenaga, mereka bisa konsentrasi penuh terhadap masalah tertentu.
Model bak sampah mengacu kepada pilihan kesempatan (choice opportunities) atau kesempatan-kesempatan ketika organisasi diharapkan mampu membuat keputusan pemecahan masalah. Pilihan kesempatan muncul ketika perhatian terpusat pada sebuah kejadian, contohnya ada guru baru yang direkrut. Beberapa kejadian memfokuskan perhatian dan menyediakan kesempatan untuk mengubah sesuatu.
Estler membuat catatan penting bahwasanya model bak sampah adalah sebuah usaha untuk memformulasikan sebuah model yang rasional (logis, deduktif) untuk menjelaskan kejadian yang tidak rasional.
Berdasarkan observasi Estler, maka model bak sampah memungkinkan untuk menggambarkan chaos dan proses chaos itu sendiri. Weiner menawarkan beberapa saran taktis bagi para manager yang melihat pemecahan masalah dalam term model bak sampah.
1.      Mengalihkan oposisi dengan memberikan lawan terhadap isu yang akan menyerap banyak tenaga mereka. Jika isu yang digulirkan tidak juga menarik perhatian, maka buat isu tersebut
2.      Mengenali batas waktu dan energi yang kita punya dan selektif  terhadap keputusan yang akan dibuat.
3.      Menentukan deadline dengan hati-hati, karena bisa jadi mereka bekerja untukmu atau melawan kamu. Jika kamu tidak bisa menentukan deadline maka cobalah menggunakan kelompok penekan atau hukum.
4.      Gunakan teman diluar lingkungan organisasi untuk menjadi asisten. Karena mereka mungkin mempunyai pengalaman, prestis dan  kemampuan yang akan menolong.

G.    Perilaku Kerja Manajerial
Pada tahun 1930-an Minzberg memulai penelitian dengan metode yang disebut observasi terstruktur. Penelitian ini mengobservasi 5 pimpinan eksekutif organisasi menengah sampai besar dalam waktu masing-masing 1 minggu.
Dari penelitian tersebut Minzberg mempunyai 2 set kesimpulan. Kesimpulan pertama berkaitan dengan karakteristik kerja manajerial, termasuk didalamnya analisis numerik mengenai bagaimana, dengan siapa, dan dalam kondisi seperti apa seorang manager menghabiskan waktu. Kesimpulan kedua mengidentifikasi isi kerja manajerial dalam peran nyata yang dibutuhkan untuk menunjukkan kerja tersebut.
Kesimpulannya mengenai karakteristik spesial dan isi kerja manajerial berjalan dengan beberapa riset pendukung sebagai berikut :
1.      Karakteristik pertama : manajer menunjukkan kerja dalam jumlah yang banyak untuk memberi teladan yang tiada henti.
2.      Karakter kedua : aktifitas managerial berciri khas keberagaman, fragmentasi dan  kecekatan.
3.      Karakteristik ketiga : para manager memilih isu-isu yang tertentu,spesisfik dan sementara.
4.      Karakter keempat : para manager berada diantara organisasinya  dan jaringan relasinya.
5.      Karakter kelima : para manager memperlihatkan pilihan yang kuat untuk media verbal.
6.      Karakter keenam : meskipun tanggung jawabnya begitu banyak, para manager memperlihatkan mampu mengontrol affair mereka.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            
H.    Peran-peran kerja Manajer
Menurut Henri Minzberg bahwa peranan manajer itu ada tiga, yaitu peranan yang bersifat interpersonal, informasional dan pengambil keputusan. Peranan yang bersifat interpersonal, mencakup tiga hal, yaitu sebagai figur, pemimpin dan penghubung. Peranan manajer yang bersifat informasional, yaitu sebagai monitor, desiminator/peran penyebar informasi dan juru bicara. Sedangkan Peranan manajer sebagai pengambil keputusan mencakup empat subperan, yaitu sebagai enterpreneur, penghadang kesulitan, pengatur sumber dan wakil organisasi dalam membina hubungan kerja.[4]
Dari paparan di atas dapat digambarkan bahwa: 1) Hubungan pemimpin-anggota. Hal ini merupakan variabel yang paling penting di dalam menentukan situasi yang menyenangkan tersebut. 2) Derajat dari struktur tugas. Dimensi ini merupakan masukan yang amat penting, dalam menentukan situasi yang menyenangkan. 3) Posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal. Dimensi ini merupakan dimensi yang amat penting ketiga di dalam situasi yang menyenangkan.[5]


[1]  Marno dan Triyo Supriyatno, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam, (Bandung; Refika Aditama, 2008), Hal. 49.
[2]  Makmuri Muchlas, Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008), Hal. 327
[3]   John P. Kotter, Power In Management: Kekuatan dalam Kekuasaan (terj.), (Yogyakarta; Pinkbooks, 2003),  hal. 73.
[4]   Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta; Erlangga, 2007),  Hal. 231-232.
[5]   Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 292.

Senin, 29 April 2013

IBNU MISKAWAIH

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam khasanah ilmu, filsafat diartikan sebagai berpikir bebas, radikal dan berada dalam dataran makna. Bebas artinya tidak ada yang menghalangi pikiran bekerja, dan radikal yaitu sampai ke akar suatu masalah.[1] Sedangkan Filsafat Islam artinya berpikir yang bebas, radikal, dan berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati.[2] bidang filsafat Islam banyak diwarnai oleh karya-karya beberapa filosof yang mempunyai pandangan yang cemerlang, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Misalnya Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Karya Ibn Sina yang terkenal diantaranya adalah al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Selain tokoh filsafat tersebut, masih ada tokoh besar dalam khazanah filsafat Islam. Dua nama diantaranya adalah Ibnu Miskawaih dan Ibnu Thufail. Ibnu Miskawaih terkenal dengan pemikiran tentang al nafs dan al akhlaq, sedangkan Ibnu Thufail terkenal dengan pemikirannya yang salah satunya dalam roman filsafatnya yang terkenal Hayy bin Yaqdhan.[3] Dalam hal ini kami membatasi diri pada pemikiran Ibnu Maskawaih tentang filsafat al-nafs dan al-akhlaq. Sebelum membahas tentang filsafat al nafs dan akhlak milik Ibnu Miskawaih, terlebih dahulu kami mengulas sedikit tentang riwayat hidup Ibnu Miskawaih.
BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih
Miskawaih (Maskawiyyah, Ibnu Miskawaih) dengan nama lengkap yaitu Ahmad Ibn Muhammad ibn Ya’qub ibnu Miskawaih, disebut pula Abu Ali Al-Khazin. Ibnu Miskawaih lahir di Rayy (Teheran sekarang) yang diperkirakan tahun 320H/932M dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421H / 16 Pebruari 1030M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi yang para pemukanya berfaham Syi’ah. Ibnu Miskawaih mempunyai guru dalam bidang sejarah bernama Abu Bakr Ahmad ibn Kamil Al-Qadi (350 H/ 960 M) dan menyerap filsafat dari Ibnu al-Khammar yang memperkenalkan  dengan karya-karya Aristoteles. Dari Abu Al-Thayyib Al-Razi – seorang ahli kimia – ia menimba kimianya[4]
Ibnu Miskawaih merupakan sejarawan besar yang memegang jabatan tinggi di istana khalifah dinasti Buwaihi yaitu pada masa ‘Adhud al-Dawlah (tahun 367 H - 372 H).[5] Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud al Dawlah. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Ibnu Miskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itu, Ibnu Miskawaih lalu tertarik untuk menitik beratkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
2.2  Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih
a.      Filsafat al-Nafs
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa munculnya banyak materi di alam semesta ini terjadi karena emanasi (pancaran) dari Yang Maha Satu. Tuhan menjadikan Akal-akal sebagai inti bagi dua alam: makro kosmos dan mikro kosmos. Menurutnya masing-masing Akal mempunyai pemikiran yaitu berfikir tentang Penciptanya dan berpikir tentang dirinya. Yang mula pertama di jadikan Tuhan adalah Akal. Akal tersebut merupakan Wujud Kedua. Akal I sebagai wujud II  ini berpikir tentang Penciptanya menimbulkan Wujud III/Akal II dan berpikir tentang diri-Nya menghasilkan langit-langit tertinggi. Wujud III/Akal II berpikir tentang Penciptanya menghasilkan Wujud IV/Akal III dan berpikir tentang dirinya menghasilkan bintang-bintang. Aktivitas Akal-akal berikutnya sama dengan Akal-akal sebelumnya. Wujud IV/Akal III menghasilkan Wujud V/Akal IV dan Saturnus. Wujud V/Akal IV menghasilkan Wujud VI/Akal V dan Yupiter. Wujud VI/Akal V menghasilkan Wujud VII/Akal VI dan Mars. Wujud VII/Akal VI menghasilkan Wujud VIII/Akal VII dan Matahari. Wujud VIII/Akal VII menghasilkan Wujud IX/Akal VIII dan Venus. Wujud IX/Akal VIII menghasilkan Wujud X/Akal IX dan Merkuri. Wujud X/Akal IX menghasilkan Wujud XI/Akal X dan Bulan. Dari Akal X inilah muncul bumi beserta isinya yang menjadi dasar materi asal yang berupa empat unsur: api, udara, air dan tanah. Unsur-unsur tersebut lahirlah alam mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Kesepuluh Akal itu menurutnya sejak awalnya sudah di jadikan secara sempurna, dan Akal-akal ini adalah Akal-akal Aktif. Sedangkan akal manusia yang tertinggi bisa berhubungan dengan Akal Aktif adalah akal perolehan lalu akal aktuil dan yang paling bawah adalah akal material.[6]
Hasil lain dari teori emanasi tersebut dijadikan untuk mengukur tingkat keabadian sesuatu dengan menggunakan tolak ukur penggerak dan cara bergeraknya. Menurutnya, ada dua macam penggerak: gerak thabi’at (mengalami kerusakan) dan gerak al-nafs atau gerak melingkar (tidak mengalami kerusakan). Menurutnya penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia.[7]
Di dalam bukunya Tahdzib Al-Akhlaq wa Tath-hir Al-A’raq, Ibnu Miskawaih menguraikan bahwa pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa, yaitu daya bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyyat), daya berani (al-Nafs al-Sabu’iyyat), dan daya berfikir (al-Nafs al-Nathiqat). Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.[8]
Setelah mengetahui duduk persoalan mengenai jasad, jiwa sebagai natur[9] jasad, dan jiwa dari pancaran Tuhan, maka dapat diarahkan pada tiga macam hubungan yaitu:
1)   Hubungan jiwa sebagai natur materi dengan jasad, yang akan melahirkan dua kemampuan: fisik (berupa indra-indra yang lima) dan ruhani (terdiri dari indra bersama, imajinasi, rekoleksi dan khusus bagi manusia ada kemampuan berfikir). Dalam hubungan ini belum mampu melahirkan kesadaran diri sebagai manusia.
2)   Hubungan jiwa sebagai natur materi dengan jiwa yang berasal dari ruh Tuhan. Dalam hal ini manusia telah mampu melahirkan kesadaran diri sebagai manusia karena jiwa berfikir ini berfungsi sebagai kendali yang mengontrol dan memimpin jiwa bernafsu dan jiwa berani.
3)   Hubungan jiwa yang berasal dari ruh Tuhan dengan jasad, bahwa jiwa yang berasal dari ruh Tuhan mempunyai aktivitas tersendiri  secara khusus tanpa menggunakan alat yang terdapat dalam tubuh manusia. Jiwa berpikir memiliki dua daya: teoritis dan praktis. Sedangkan ruh Tuhan yang ditiupkan pada janin manusia pada hakikatnya adalah akal/’aql yang mempunyai dua aspek: yang hubungannya dengan materi disebut praktis, dimana cara kerjanya menggunakan otak dan yang hubungannya bukan dengan materi atau abstrak disebut teroritis.
Menurut Ibnu Miskawaih, dari ketiga hubungan jiwa-jasad di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua jenis hubungan: 1) hubungan saling mempengaruhi yang terjadi antara jiwa bernafsu dan jiwa berani dengan jasad, dan 2) gerak melingkar yang terjadi antara jiwa berpikir dan jasad. Dalam hubungan saling mempengaruhi, akan timbul dorongan pada diri manusia untuk membangun alam dan sebaliknya dorongan untuk merusaknya dan ini terjadi pada materi, maka akan hancur jika jasad manusia hancur. Sedangkan gerak melingkar pada jiwa al-nâthiqat melahirkan dorongan ketuhanan. Maka, jika gerak ke atas (ke intelegensia) akan membawa manusia untuk lebih dekat kepada Tuhan dan gerak ke bawah (alam materi) akan membawa manusia semakin jauh dari Tuhan.[10]
            Dalam karya tulis Ibnu Miskawaih yang berjudul Tahdzib Al-Akhlaq wa Tath-hir Al-A’raq, menyatakan di mukadimahnya bahwa tujuan menulis buku tersebut adalah untuk mengembangkan nilai moralitas dalam jiwa. Jalan terbaik untuk mewujudkan moralitas adalah memahami lebih dulu seluk beluk jiwa. Menurut konsepsi Miskawaih, jiwa dilukiskan sebagai sesuatu yang bersifat imaterial, bukan bagian tubuh, tidak membutuhkan tubuh, tidak dapat ditangkap oleh panca indera jasmani, dan merupakan subtansi sederhana. Ibnu Miskawaih juga menjelaskan bahwa faktor yang membedakan jiwa manusia dengan jiwa binatang ialah adanya potensi akal dalam jiwa manusia, sedang potensi akal tidak untuk memiliki pengetahuan teoritis (memiliki gambaran yang benar tentang realitas) dan pengetahuan praktis ( pengetahuan tentang perbuatan baik dan buruk sehingga mendorong untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk).[11]

b.  Filsafat al-Akhlaq
Filsafat etika yang dipopulerkan oleh Ibnu Miskawaih adalah filsafat etika yang berdasarkan pada doktrin jalan tengah. Ibnu Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur‘ân dan tidak pula membawa satu dalil dari hadis. Akan tetapi menurut penilaian al-Ghazâlî, bahwa spirit doktrin jalan tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur‘ân yang memberi isyarat untuk itu, misalnya tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat di antara kikir dan boros. Hal ini sejalan dengan ayat al-Qur‘ân surat al-Isra: 29 dan al-Furqon: 67. Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran Islam.[12]
Inti teori jalan tengah ini menyebutkan bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Posisi tengah daya bernafsu adalah menjaga kesucian diri yang terletak antara mengumbar nafsu dan mengabaikan nafsu. Posisi tengah daya berani adalah keberanian yang terletak antara pengecut dan nekad. Posisi tengah daya berfikir adalah kebijaksanaan yang terletak antara kedunguan dan kelancangan. Kombinasi dari tiga keutamaan membuahkan sebuah keutamaan yang berupa keadilan. Keadilan ini merupakan posisi tengah antara berbuat aniaya dan teraniaya. Selanjutnya setiap keutamaan tersebut memiliki cabangnya masing-masing. Kebijaksanaan memiliki tujuh cabang, yaitu ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar. Menjaga kesucian diri memiliki 12 cabang, yaitu malu, ketenangan, sabar, dermawan, kemerdekaan, bersahaja, kecenderungan kepada kebaikan, keteraturan, menghias diri dengan kebaikan, meninggalkan yang tidak baik, ketenangan, dan kehati-hatian. Adapun keberanian berkembang menjadi 9 cabang, yaitu berjiwa besar, pantang takut, ketenangan, keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan, dan memiliki daya tahan yang kuat atau senang bekerja berat. Sementara keadilan oleh Ibnu Miskawaih dibagi ke dalam tiga macam, yaitu keadilan alam, keadilan adat istiadat, dan keadilan Tuhan. Selanjutnya Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa posisi jalan tengah tersebut bisa diraih dengan memadukan fungsi syariat dan filsafat. Syariat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa berani. Sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berfikir.[13]
Doktrin jalan tengah ini dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya paling tidak pada tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan aktivitas. Sebagai makhluk sosial, selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan maupun kelebihannya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi untuk masyarakat mahasiswa misalnya tidak dapat disamakan dengan masyarakat dosen. Demikian pula ukuran tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju akan berbeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara berkembang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus-menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai hakiki dari pokok keutamaan akhlak. Jadi dengan doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.[14] Pokok keutamaan akhlak menurut Ibnu Miskawaih yaitu terciptanya keharmonisan pribadi dengan lingkungannya: sesama manusia, alam dan Tuhan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh kemampuan manusia dalam mengharmonisasikan jiwa bernafsu, berani dan berpikir yang ada pada dirinya dan dengan pihak di luar dirinya.[15]
Ibnu Miskawaih memberikan pengertian akhlak itu sebagai keadaan jiwa yang mendorong ke arah melahirkan perbuatan tanpa pemikiran dan penelitian.[16] Lebih tepatnya akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendorong lahirnya perbuatan secara spontan. Dari sini pula Ibnu Miskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq yang bertujuan terciptanya manusia yang berperilaku ketuhanan. Perilaku seperti ini muncul dari akal ketuhanan yang ada dalam diri manusia secara spontan. Ibnu Miskawaih dalam memberikan motivasi kepada diri sendiri dan orang lain untuk mencontoh akhlak Nabi.[17] Maka dapat dipahami manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Ibnu Miskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan akhlaq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan.[18] Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pendidikan anak-anak. Ia menyebutkan bahwa masa kanak-kanak mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulailah ufuk manusiawi. Karena itu, sedini mungkin anak-anak harus dididik dan mendapatkan pendidikan akhlak mulia. Sebagai kesan pada pendidikan dini inilah yang akan berakar kuat dalam kehidupan mereka di masa yang akan datang.[19]  
BAB III
PENUTUP

            Maka dapat dipahami dari uraian di atas tentang pemikiran Ibnu Miskawaih dalam filsafatnya yaitu filsafat al-nafs dan filsafat al-akhlaq. Menurutnya bagaimana manusia bisa mengembangkan nilai moralitas dalam jiwa, yang terlebih dahulu memahami seluk beluk jiwa. Menurut konsepsi Miskawaih, jiwa dilukiskan sebagai sesuatu yang bersifat imaterial, bukan bagian tubuh, tidak membutuhkan tubuh, tidak dapat ditangkap oleh panca indera jasmani, dan merupakan subtansi sederhana. Ibnu Miskawaih juga menjelaskan bahwa faktor yang membedakan jiwa manusia dengan jiwa binatang ialah adanya potensi akal dalam jiwa manusia, sedang potensi akal tidak untuk memiliki pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Serta Ibnu Miskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq yang bertujuan terciptanya manusia yang berperilaku ketuhanan. Perilaku seperti ini muncul dari akal ketuhanan yang ada dalam diri manusia secara spontan. Ibnu Miskawaih dalam memberikan motivasi kepada diri sendiri dan orang lain untuk mencontoh akhlak Nabi.


DAFTAR PUSTAKA

Asy’arie, Musa. Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam berpikir. Yogyakarta: LESFI. 2002

Bahasa, Tim Penyusun Kamus Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Dasoeki, Thawil Akhyar.  Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: Dina Utama Semarang/ DIMAS, 1993.

Drajat, Amroeni. Filsafat Islam. Jakarta: Erlangga, 2006.

Hitti, Plihip K. History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.


Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih. Yogyakarta: Belukar, 2004.



[1]  Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam berpikir (Yogyakarta: LESFI, 2002), hal. 1-2.
[2]  Ibid.,hal. 6.
[4] Thawil Akhyar Dasoeki,  Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang: Dina Utama Semarang/ DIMAS, 1993), hal. 47.
[5] Plihip K. Hitti, (terjemahan) History of The Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 488.
[6]  Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih  (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 73-74.
[7]   Ibid, hal. 75-76.
[8] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 89.
[9]   Natur : alam semesta dan segala yang diciptakan oleh Tuhan; alam beserta isinya. Lihat Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal 776.
[10] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih  (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 78-85.
[11]  Amroeni Drajat, Filsafat Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 44-45.
[14]  Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih  (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 94-96.
[15]  Ibid, hal. 113.
[17] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih  (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 119