TEORI KONTINGENSI
A. PENDAHULUAN
Keberhasilan masyarakat atau
bangsa ditentukan oleh keberhasilan seluruh organisasi yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat atau bangsa itu. Sedang keberhasilan organisasi ditentukan
oleh keberhasilan para manajer guna mencapai tujuan organisasi itu.[1] Telah semakin jelas bahwa
meramalkan sukses kepemimpinan dirasakan lebih kompleks daripada mengisolasikan
beberapa watak atau perilaku yang disukai. Kegagalan untuk memperoleh hasil
yang konsisten mengarahkan kita untuk fokus pada pengaruh-pengaruh situsional.
Efektivitas kepemimpinan ternyata tergantung pada situasinya, dimana kondisi
situsional tadi perlu diisolasikan kalau kita ingin mengetahui tingkatan
pengaruhnya. Banyak studi mencoba mengisolasikan faktor-faktor situasional yang
mempunyai pengaruh penting terhadap efektivitas kepemimpinan. Misalnya,
variabel-variabel penghubung yang digunakan dalam mengembangkan teori-teori
kontingensi termasuk kompleksitas struktur tugas yang harus diselesaikan,
kualitas hubungan antara pimpinan dan bawahan, kekuatan posisi dari si
pemimpin, kejelasan peran dari bawahan, norma kelompok, kemudahan informasi,
penerimaan bawahan terhadap keputusan pimpinan, dan kematangan bawahan.[2]
B. PENDAHULUAN
Pada saat ini perubahan
karakter situasional manajemen mulai dipahami
sebagai kunci kepada proses manajemen itu sendiri. Dalam bab ini kita
namakan teori kontingensi. Berbagai sejarah dari berbagai bidang menunjukkan pergerakan
dari prinsip-prinsip universal menuju relasi dan prinsip-prinsip situasional.
Hal yang menonjol dari teori kontingensi saat ini adalah bahwasannya teori
organisasi telah memasuki masa kematangan ilmiah.
Pada tahap ini teori kontingensi
bukanlah semata-mata sebuah teori namun lebih sebagai alat untuk memfasilitasi
kita memahami aliran situasi dari suatu kejadian dan memberi alternatif kepada organisasi
atau individu untuk merespon aliran tersebut. Teori kontingensi bisa dikatakan
sebagai sub bagian dari teori terbuka karena seperti teori sistem terbuka kita
bisa memahami aliran yang dinamis dari situasi, personel, dan sumber yang
mengambil tempat di dalam organisasi.
Dengan maksud memperoleh
gambaran mengenai karakter situasional organisasi, maka chapter ini mempunyai
tujuan:
1. Untuk menguji asumsi dasar dan dasar
konsepsi dari teori kontingensi.
2. Menggambarkan teori kontingensi dari
manajemen sebagai teknik respon yang fleksible terhadap kondisi yang tidak
menentu dalam seting organisasi.
3. Untuk mengidentifikasi untuk
mengidentifikasi 3 kerangka kerja teori kontingensi yang mempunyai implikasi
penting pada dunia pendidikan. (a) Struktur organisasi dan lingkungan, (b)
pemecahan masalah dalam anarki yang terorganisir, (c) tingkah laku kerja
manajerial.
4. Untuk menyimpulkan dengan beberapa
pertanyaan yang dimaksudkan untuk mengadakan garis penemuan berdasarkan teori kontingensi
didalam pendidikan.
C. Dibawah Kondisi Tidak tertentu
Sulit untuk menggambarkan
pekerjaan apa pun dan menemukan apa yang diminta untuk perilaku kerja, tetapi
hal itu lebih sulit lagi untuk pekerjaan-pekerjaan manajerial karena sangat
banyak berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya. Tuntutan-tuntutan
yang dihadapkan kepada para manajer di dalam tipe-tipe pekerjaan yang berbeda
di dalam organisasi-organisasi yang berbeda bisa sangat berubah-ubah. Agar dapat
memahami bagaimana dan mengapa seorang manajer di dalam sebuah pekerjaan yang
spesifik berhasil memperoleh dan menggunakan kekuasaan, orang perlu memahami
secara keseluruhan pekerjaan itu sendiri dan tuntutan yang dihadapkannya.[3]
Inti sari kompleksitas masalah
organisasi adalah kondisi tidak menentu. Dalam kondisi tidak menentu, penentu
kebijakan tidak bisa memberikan kontingensi keputusan yang tepat mengenai
inisiatif yang spesifik. Oleh karenanya elemen resiko menjadi bagian dari
penentu kebijakan. Organisasi, termasuk didalamnya sekolah harus tanggap
terhadap isu ini yang oleh Cyert dan March sebut sebagai “pencegahan terhadap
kondisi tidak menentu”. Secara singkat Cyert dan March menyimpulkan bahwa “
mereka menerima manajemen penentuan
situasi yang masuk akal dengan mencegah perencanaan dimana rencana-rencana
tergantung kepada prediksi mengenai kejadian-kejadian yang tidak terduga dimasa
mendatang dan dengan penekanan pada
perencanaan diamana rencana-rencana bisa dikontrol sendiri melalui beberapa alat
kontrol.
Sebaliknya timbulnya teori kontingensi
menunjukkan sebuah orientasi yang memungkinkan bagi kita untuk membayangkan
organisasi sebagai sistem terbuka yang
tersusun dari interaksi sub unit yang berhadapaan dengan kondisi tidak
tertentu. Dengan mengadaptasi struktur organisasi, perencanaan strategi dan
perilaku kepemimpinan, beberapa tingkat kondisi tidak tertentu masih bisa
diterima, atau paling tidak resiko bisa dihindari.
D. Konteks Teori Kontingensi
Rencana-rencana kontingensi
adalah respon pengganti yang diformulasikan untuk mempengaruhi hubungan
antara situasi (yang tidak menyenangkan)
dan outcome/hasil. Dengan kata lain bisa digambarkan sebagai berikut:
A = situasi
( serangan atau masalah)
B = rencana
kontingensi
C =
outcome/hasil ( keamanan dan keselamatan)
Hubungan antara A dan C
diperbaiki oleh B. Strategi manajemen membutuhkan informasi yang harus ada
untuk menakasir dan membatasi alternatif yang disiapkan.
Teori kontingensi menekankan
bahwa keragaman permintaan dan kebutuhan lingkungan menuntut keragaman respon
organisasi. Prosedur operasi standar (SOP) tidak seluruhnya cocok dalam
menghadapi segala jenis permintaan.
Konsep-konsep kekuatan, target dan sumber sangat
penting dalam mendiagnosa karakteristik tertentu dari permintaan lingkungan.
Dalam konteks pendidikan kekuatan bisa berarti goncangan yang menghadang
sekolah. Target goncangan berkaitan dengan bagian dari sistem sekolah yang
menjadi fokus ketidakpuasan. Sedangkan sumber goncangan bisa berarti orang tua
yang sangat keras.
- Asumsi dasar
Teori kontingensi berasas pada
beberapa asumsi dasar mengenai organisasi dan individu, diantaranya:
-
Middle Ground. Teori kontingensi menekankan pandangannya pada 2 hal: ada
middle ground antara teori manajemen universal yang ada yang bisa digunakan oleh
seluruh organisasi. Setiap organisasi adalah unik.
-
Tujuan-tujuan.
Kebanyakan tujuan formal dan informal organisasi tumpang tindih dan tidak
terkoordinasi dengan baik serta saling bertentangan.
-
Sistem
terbuka. Seluruh organisasi adalah sistem yang terbuka.
-
Performa.
Tingkat performa ditentukan oleh kecocokan antara harapan eksternal dan proses
internal.
-
Fungsi
dasar. Fungsi dasar dari administrasi terlihat untuk membantu mensejajarkan
antara teknologi dan tugas lingkungan kedalam wilayah yang dapat terus
berjalan, serta antara desain organisasi dan struktur yang ada padanya.
-
Jalan
terbaik. Tidak ada satu jalan terbaik untuk seluruh organisasi dan administrasi.
-
Pendekatan-pendekatan.
Berbagai pendekatan manajemen dibutuhkan untuk berbagai bagian dalam satu
organisasi.
-
Gaya
kepemimpinan. Gaya kepemimpinan yang berbeda diperlukan untuk menghadapi
masalah yang berbeda.
-
Permulaan. Manajer mempunyai kesempatan untuk mengatasi
masalah pada saat pertama kali masalah itu timbul.
-
Informasi.
Manajer tidak bisa mengetahui seluruh yang terjadi disekelilingnya.
- Loosely Coupled System (sistem-sistem yang terangkai dengan longggar)
Ketika mencoba mengaplikasikan
teori kontingensi dalam konteks struktur organisasi, pemecahan masalah dan
perilaku kerja managerial, ketiganya paling tidak mempunyai ciri umum yaitu;
rangkaian yang longgar. Rangkaian yang longgar memungkinkan bagi organisasi
pendidikan untuk membuat gerakan yang adaptif dalam beberapa arah yang berbeda
dengan berfokus pada berbagai problem pada saat bersamaan.
Minzberg telah
mengidentifikasi beberapa metode yang bisa digunakan organisasi untuk
menjembatani gap dan mengetatkan kelonggaran yang terjadi; 1. saling
menyesuaikan diri, koordinasi informal dalam pekerjaan, 2. supervisi langsung,
satu orang mengambil tanggung jawab atas pekerjaan orang lain, 3. standarisasi
kerja, memprogram konten dan prosedur kerja, 4. standarisasi output, kontrol
kualitas melalui tes terstandarisasi, 5. enkulturasi, sosialisai oinformal dan
training profesional memberi tekanan kepada norma organisasi
E. Struktur Organisasi dan Lingkungan
Para pakar pioner teori kontingensi
(contingency theory) yang meletakkan
konsepsi dasar struktur organisasi adalah Woodward, Burns dan Stalker, Thomson
dan Lawrence serta Lorsch.
Lawrence dan Lorch adalah
penggerak utama yang menjadikan teori kontingensi sebagai lapangan penelitian.
Berdasarkan penelitian mereka terhadap 10 organisasi dengan level ekonomi yang
berbeda pada 3 jenis perusahaan yang berbeda, mereka berpendapat bahwa
organisasi yang berbeda menghadapi lingkungan yang berbeda, seperti dari tidak
tertentu ke tertentu, dari homogen menjadi bermacam-macam. Karkteristik
lingkungan yang berbeda menghasilkan tipe struktur yang berbeda dan proses yang
sesuai dengan organisasi.
Pada organisasi yang mempunyai
lingkungan tidak menentu dan bermacam-macam, untuk mencapai tingkat efisiensi
tinggi, hendaknya menyusun sub sistem yang berbeda dan integral. Organisasi
butuh untuk membedakan antar sub unit karena masing-masing mempunyai tugas yang
berbeda dengan lingkungan yang berbeda. Didalam organisasi yang
terdiferensiasi, integrasi sangat penting. Integrasi mengacu pada kualitas
kolaborasi untuk mencapai persamaan usaha. Kolaborasi ini bisa berbentuk
prosedur yang fleksibel, komunikasi terbuka, sharing informasi dan lain-lain.
Sebaliknya pada organisasi
yang beroperasi dengan lingkungan yang homogen membutuhkan model operasi yang
mekanis. Oleh karenanya, menentu dan
tidak menentunya lingkungan serta homogen dan variatif menjadi kunci variabel
situasi untuk menentukan bentuk organisasi dan administrasi yang paling efektif
dan efisien.
Berkaitan dengan keterkaitan
organisasi dengan lingkungan Katz dan Rosenzweig berpendapat:
-
organisasi
yang tertutup/stabil/mekanis lebih tepat menggunakan aktifitas yang rutin untuk
mencapai tujuan utama dengan menggunakan teknologi yang seragam dan cukup
stabil, dimana pengambilan keputusan telah terprogram dan kekuatan lingkungan
cukup stabil serta tertentu.
-
Organisasi
yang terbuka/adaptif/ organik, maka aktifitasnya lebih baik tidak rutin, dimana
kreatifitas dan inovasi sangat penting.
F. Pemecahan Masalah dalam Anarki yang
Terorganisir
Cohen, March dan olsen
berpendapat organisasi sekolah bisa dipahami sebagai anarki yang terorganisir
karena 3 hal : 1. Tujuan biasanya ambigu dan kadang tidak konsisten, 2. Teknologi
untuk bekerja tidak jelas bahkan untuk peserta, 3. Karakteristik utama ketiga
adalah partisipasi yang berubah-ubah dari anggotanya.
Sebagai pemecahan masalah ini
mereka membuat bentuk pemecahan masalah yang dinamakan dengan Garbage Can Model
( model bak sampah)
Pemecahan Masalah Model
Bak Sampah
Cohen dan
rekan-rekannya berpendapat bahwa keputusan dalam anarki yang terorganisir
akhirnya adalah produk dari 3 aliran relatif independent yang saling bercampur
baur dalam kesempatan pilihan yang muncul dalam organisasi. Pertama adalah
aliran konstan masalah yang berasal dari dalam dan luar menuju kedalam sistem. Sekolah
tidak pernah sepi dari masalah, seakan-akan hal ini tiada habisnya, seperti
skore membaca yang terlalu rendah, regu basket sekolah membutuhkan helm baru,
guru bahasa inggris tidak bisa berbicara bahasa Inggris dll. Aliran kedua
adalah aliran konstan solusi,setiap orang mempunyai solusi untuk
masalah-masalah mereka sendiri. Aliran ketiga adalah partisipasi yang berubah-ubah
dari partisipannya, ketika mereka memilih untuk terikat dengan waktu dan
tenaga, mereka bisa konsentrasi penuh terhadap masalah tertentu.
Model bak
sampah mengacu kepada pilihan kesempatan (choice
opportunities) atau kesempatan-kesempatan ketika organisasi diharapkan
mampu membuat keputusan pemecahan masalah. Pilihan kesempatan muncul ketika
perhatian terpusat pada sebuah kejadian, contohnya ada guru baru yang direkrut.
Beberapa kejadian memfokuskan perhatian dan menyediakan kesempatan untuk mengubah
sesuatu.
Estler
membuat catatan penting bahwasanya model bak sampah adalah sebuah usaha untuk
memformulasikan sebuah model yang rasional (logis, deduktif) untuk menjelaskan
kejadian yang tidak rasional.
Berdasarkan
observasi Estler, maka model bak sampah memungkinkan untuk menggambarkan chaos
dan proses chaos itu sendiri. Weiner menawarkan beberapa saran taktis bagi para
manager yang melihat pemecahan masalah dalam term model bak sampah.
1. Mengalihkan oposisi dengan memberikan
lawan terhadap isu yang akan menyerap banyak tenaga mereka. Jika isu yang
digulirkan tidak juga menarik perhatian, maka buat isu tersebut
2. Mengenali batas waktu dan energi yang kita
punya dan selektif terhadap keputusan
yang akan dibuat.
3. Menentukan deadline dengan hati-hati,
karena bisa jadi mereka bekerja untukmu atau melawan kamu. Jika kamu tidak bisa
menentukan deadline maka cobalah menggunakan kelompok penekan atau hukum.
4. Gunakan teman diluar lingkungan organisasi
untuk menjadi asisten. Karena mereka mungkin mempunyai pengalaman, prestis
dan kemampuan yang akan menolong.
G. Perilaku Kerja Manajerial
Pada tahun 1930-an Minzberg
memulai penelitian dengan metode yang disebut observasi terstruktur. Penelitian
ini mengobservasi 5 pimpinan eksekutif organisasi menengah sampai besar dalam
waktu masing-masing 1 minggu.
Dari penelitian tersebut
Minzberg mempunyai 2 set kesimpulan. Kesimpulan pertama berkaitan dengan karakteristik
kerja manajerial, termasuk didalamnya analisis numerik mengenai bagaimana,
dengan siapa, dan dalam kondisi seperti apa seorang manager menghabiskan waktu.
Kesimpulan kedua mengidentifikasi isi kerja manajerial dalam peran nyata yang
dibutuhkan untuk menunjukkan kerja tersebut.
Kesimpulannya mengenai
karakteristik spesial dan isi kerja manajerial berjalan dengan beberapa riset
pendukung sebagai berikut :
1. Karakteristik pertama : manajer
menunjukkan kerja dalam jumlah yang banyak untuk memberi teladan yang tiada
henti.
2. Karakter kedua : aktifitas managerial
berciri khas keberagaman, fragmentasi dan
kecekatan.
3. Karakteristik ketiga : para manager
memilih isu-isu yang tertentu,spesisfik dan sementara.
4. Karakter keempat : para manager berada
diantara organisasinya dan jaringan
relasinya.
5. Karakter kelima : para manager
memperlihatkan pilihan yang kuat untuk media verbal.
6. Karakter keenam : meskipun tanggung
jawabnya begitu banyak, para manager memperlihatkan mampu mengontrol affair
mereka.
H. Peran-peran kerja Manajer
Menurut Henri Minzberg bahwa
peranan manajer itu ada tiga, yaitu peranan yang bersifat interpersonal,
informasional dan pengambil keputusan. Peranan yang bersifat interpersonal,
mencakup tiga hal, yaitu sebagai figur, pemimpin dan penghubung. Peranan
manajer yang bersifat informasional, yaitu sebagai monitor, desiminator/peran
penyebar informasi dan juru bicara. Sedangkan Peranan manajer sebagai pengambil
keputusan mencakup empat subperan, yaitu sebagai enterpreneur, penghadang kesulitan, pengatur sumber dan wakil
organisasi dalam membina hubungan kerja.[4]
Dari paparan di atas dapat
digambarkan bahwa: 1) Hubungan pemimpin-anggota. Hal ini merupakan variabel
yang paling penting di dalam menentukan situasi yang menyenangkan tersebut. 2)
Derajat dari struktur tugas. Dimensi ini merupakan masukan yang amat penting,
dalam menentukan situasi yang menyenangkan. 3) Posisi kekuasaan pemimpin yang
dicapai lewat otoritas formal. Dimensi ini merupakan dimensi yang amat penting
ketiga di dalam situasi yang menyenangkan.[5]
[1] Marno dan Triyo Supriyatno, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam,
(Bandung;
Refika Aditama, 2008), Hal. 49.
[2] Makmuri Muchlas, Perilaku Organisasi, (Yogyakarta:
Gajah Mada University
Press, 2008), Hal. 327
[3] John P. Kotter, Power In Management: Kekuatan dalam Kekuasaan (terj.), (Yogyakarta; Pinkbooks, 2003), hal. 73.
[4] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam, (Jakarta;
Erlangga, 2007), Hal. 231-232.
[5] Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep
Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 292.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar