PENDAHULUAN
Dalam khasanah ilmu, filsafat
diartikan sebagai berpikir bebas, radikal dan berada dalam dataran makna. Bebas
artinya tidak ada yang menghalangi pikiran bekerja, dan radikal yaitu sampai ke
akar suatu masalah.[1]
Sedangkan Filsafat Islam artinya berpikir yang bebas, radikal, dan berada pada
taraf makna, yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan
memberi kedamaian hati.[2] bidang
filsafat Islam banyak diwarnai oleh karya-karya beberapa filosof yang mempunyai
pandangan yang cemerlang,
antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Misalnya Al-Farabi banyak
menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi
terhadap filsafat Aristoteles. Karya Ibn Sina yang terkenal diantaranya adalah
al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak
berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran
yang disebut dengan Averroisme.
Selain tokoh filsafat tersebut, masih
ada tokoh besar dalam khazanah filsafat Islam. Dua nama diantaranya adalah Ibnu
Miskawaih dan Ibnu Thufail. Ibnu Miskawaih terkenal dengan pemikiran tentang al
nafs dan al akhlaq, sedangkan Ibnu Thufail terkenal dengan
pemikirannya yang salah satunya dalam roman filsafatnya yang terkenal Hayy
bin Yaqdhan.[3] Dalam hal ini kami membatasi diri pada pemikiran
Ibnu Maskawaih tentang filsafat al-nafs dan al-akhlaq. Sebelum membahas tentang
filsafat al nafs dan akhlak milik Ibnu Miskawaih, terlebih dahulu kami mengulas
sedikit tentang riwayat hidup Ibnu Miskawaih.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Hidup
Ibnu Miskawaih
Miskawaih (Maskawiyyah, Ibnu Miskawaih) dengan nama lengkap
yaitu Ahmad Ibn Muhammad ibn Ya’qub ibnu Miskawaih, disebut pula Abu Ali
Al-Khazin. Ibnu Miskawaih lahir di Rayy (Teheran sekarang) yang diperkirakan
tahun 320H/932M dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421H / 16
Pebruari 1030M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi
yang para pemukanya berfaham Syi’ah. Ibnu Miskawaih mempunyai guru dalam bidang
sejarah bernama Abu Bakr Ahmad ibn Kamil Al-Qadi (350 H/ 960 M) dan menyerap
filsafat dari Ibnu al-Khammar yang memperkenalkan dengan karya-karya Aristoteles. Dari Abu
Al-Thayyib Al-Razi – seorang ahli kimia – ia menimba kimianya[4]
Ibnu Miskawaih merupakan sejarawan besar yang
memegang jabatan tinggi di istana khalifah dinasti Buwaihi yaitu pada masa
‘Adhud al-Dawlah (tahun 367 H - 372 H).[5]
Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan, dan pada masa inilah Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk
menjadi bendaharawan ‘Adhud al Dawlah. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak
menyenangkan hati Ibnu Miskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda
masyarakat. Oleh karena itu, Ibnu Miskawaih lalu tertarik untuk menitik beratkan
perhatiannya pada bidang etika Islam.
2.2 Pemikiran
Filsafat Ibnu Miskawaih
a.
Filsafat al-Nafs
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa munculnya banyak
materi di alam semesta ini terjadi karena emanasi (pancaran) dari Yang Maha
Satu. Tuhan menjadikan Akal-akal sebagai inti bagi dua alam: makro kosmos dan
mikro kosmos. Menurutnya masing-masing Akal mempunyai pemikiran yaitu berfikir
tentang Penciptanya dan berpikir tentang dirinya. Yang mula pertama di jadikan
Tuhan adalah Akal. Akal tersebut merupakan Wujud Kedua. Akal I sebagai wujud
II ini berpikir tentang Penciptanya
menimbulkan Wujud III/Akal II dan berpikir tentang diri-Nya menghasilkan
langit-langit tertinggi. Wujud III/Akal II berpikir tentang Penciptanya
menghasilkan Wujud IV/Akal III dan berpikir tentang dirinya menghasilkan
bintang-bintang. Aktivitas Akal-akal berikutnya sama dengan Akal-akal
sebelumnya. Wujud IV/Akal III menghasilkan Wujud V/Akal IV dan Saturnus. Wujud
V/Akal IV menghasilkan Wujud VI/Akal V dan Yupiter. Wujud VI/Akal V
menghasilkan Wujud VII/Akal VI dan Mars. Wujud VII/Akal VI menghasilkan Wujud
VIII/Akal VII dan Matahari. Wujud VIII/Akal VII menghasilkan Wujud IX/Akal VIII
dan Venus. Wujud IX/Akal VIII menghasilkan Wujud X/Akal IX dan Merkuri. Wujud
X/Akal IX menghasilkan Wujud XI/Akal X dan Bulan. Dari Akal X inilah muncul
bumi beserta isinya yang menjadi dasar materi asal yang berupa empat unsur:
api, udara, air dan tanah. Unsur-unsur tersebut lahirlah alam mineral,
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Kesepuluh Akal itu menurutnya sejak awalnya
sudah di jadikan secara sempurna, dan Akal-akal ini adalah Akal-akal Aktif.
Sedangkan akal manusia yang tertinggi bisa berhubungan dengan Akal Aktif adalah
akal perolehan lalu akal aktuil dan yang paling bawah adalah akal material.[6]
Hasil lain dari teori emanasi tersebut dijadikan
untuk mengukur tingkat keabadian sesuatu dengan menggunakan tolak ukur
penggerak dan cara bergeraknya. Menurutnya, ada dua macam penggerak: gerak thabi’at
(mengalami kerusakan) dan gerak al-nafs atau gerak melingkar (tidak
mengalami kerusakan). Menurutnya penciptaan yang tertinggi adalah akal
sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya
alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia.[7]
Di dalam bukunya Tahdzib Al-Akhlaq wa Tath-hir
Al-A’raq, Ibnu Miskawaih menguraikan bahwa pada diri manusia terdapat jiwa
berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Dalam
diri manusia terdapat tiga daya jiwa, yaitu daya bernafsu (al-Nafs
al-Bahimiyyat), daya berani (al-Nafs al-Sabu’iyyat), dan daya berfikir (al-Nafs
al-Nathiqat). Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan
daya berfikir berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.[8]
Setelah mengetahui duduk persoalan mengenai jasad,
jiwa sebagai natur[9]
jasad, dan jiwa dari pancaran Tuhan, maka dapat diarahkan pada tiga macam
hubungan yaitu:
1)
Hubungan jiwa sebagai natur materi
dengan jasad, yang akan melahirkan dua kemampuan: fisik (berupa indra-indra
yang lima) dan ruhani (terdiri dari indra bersama, imajinasi, rekoleksi dan
khusus bagi manusia ada kemampuan berfikir). Dalam hubungan ini belum mampu
melahirkan kesadaran diri sebagai manusia.
2)
Hubungan jiwa sebagai natur materi
dengan jiwa yang berasal dari ruh Tuhan. Dalam hal ini manusia telah mampu
melahirkan kesadaran diri sebagai manusia karena jiwa berfikir ini berfungsi
sebagai kendali yang mengontrol dan memimpin jiwa bernafsu dan jiwa berani.
3) Hubungan jiwa yang berasal dari ruh Tuhan
dengan jasad, bahwa jiwa yang berasal dari ruh Tuhan mempunyai aktivitas
tersendiri secara khusus tanpa
menggunakan alat yang terdapat dalam tubuh manusia. Jiwa berpikir memiliki dua
daya: teoritis dan praktis. Sedangkan ruh Tuhan yang ditiupkan pada janin
manusia pada hakikatnya adalah akal/’aql yang mempunyai dua aspek: yang
hubungannya dengan materi disebut praktis, dimana cara kerjanya menggunakan
otak dan yang hubungannya bukan dengan materi atau abstrak disebut teroritis.
Menurut Ibnu Miskawaih, dari ketiga hubungan jiwa-jasad
di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua jenis hubungan: 1) hubungan saling
mempengaruhi yang terjadi antara jiwa bernafsu dan jiwa berani dengan jasad,
dan 2) gerak melingkar yang terjadi antara jiwa berpikir dan jasad. Dalam
hubungan saling mempengaruhi, akan timbul dorongan pada diri manusia untuk
membangun alam dan sebaliknya dorongan untuk merusaknya dan ini terjadi pada
materi, maka akan hancur jika jasad manusia hancur. Sedangkan gerak melingkar pada
jiwa al-nâthiqat melahirkan dorongan ketuhanan. Maka, jika gerak ke atas (ke
intelegensia) akan membawa manusia untuk lebih dekat kepada Tuhan dan gerak ke
bawah (alam materi) akan membawa manusia semakin jauh dari Tuhan.[10]
Dalam karya tulis Ibnu Miskawaih yang berjudul Tahdzib
Al-Akhlaq wa Tath-hir Al-A’raq, menyatakan di mukadimahnya bahwa tujuan
menulis buku tersebut adalah untuk mengembangkan nilai moralitas dalam jiwa. Jalan
terbaik untuk mewujudkan moralitas adalah memahami lebih dulu seluk beluk jiwa.
Menurut konsepsi Miskawaih, jiwa dilukiskan sebagai sesuatu yang bersifat
imaterial, bukan bagian tubuh, tidak membutuhkan tubuh, tidak dapat ditangkap
oleh panca indera jasmani, dan merupakan subtansi sederhana. Ibnu Miskawaih
juga menjelaskan bahwa faktor yang membedakan jiwa manusia dengan jiwa binatang
ialah adanya potensi akal dalam jiwa manusia, sedang potensi akal tidak untuk
memiliki pengetahuan teoritis (memiliki gambaran yang benar tentang realitas)
dan pengetahuan praktis ( pengetahuan tentang perbuatan baik dan buruk sehingga
mendorong untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk).[11]
b. Filsafat al-Akhlaq
Filsafat etika yang dipopulerkan oleh Ibnu Miskawaih
adalah filsafat etika yang berdasarkan pada doktrin jalan tengah. Ibnu
Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut
antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi
tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa
manusia. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu
Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur‘ân dan tidak pula membawa
satu dalil dari hadis. Akan tetapi menurut
penilaian al-Ghazâlî, bahwa spirit doktrin jalan tengah ini sejalan dengan
ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat
al-Qur‘ân yang memberi isyarat untuk itu, misalnya tidak boleh kikir tetapi
juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat di antara kikir dan boros. Hal
ini sejalan dengan ayat al-Qur‘ân surat al-Isra: 29 dan al-Furqon: 67.
Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang
sejalan dengan ajaran Islam.[12]
Inti teori jalan tengah ini menyebutkan bahwa
keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem
kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Posisi tengah daya
bernafsu adalah menjaga kesucian diri yang terletak antara mengumbar nafsu dan
mengabaikan nafsu. Posisi tengah daya berani adalah keberanian yang terletak
antara pengecut dan nekad. Posisi tengah daya berfikir adalah kebijaksanaan
yang terletak antara kedunguan dan kelancangan. Kombinasi dari tiga keutamaan
membuahkan sebuah keutamaan yang berupa keadilan. Keadilan ini merupakan posisi
tengah antara berbuat aniaya dan teraniaya. Selanjutnya setiap keutamaan
tersebut memiliki cabangnya masing-masing. Kebijaksanaan memiliki tujuh cabang,
yaitu ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih
ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar. Menjaga kesucian diri
memiliki 12 cabang, yaitu malu, ketenangan, sabar, dermawan, kemerdekaan,
bersahaja, kecenderungan kepada kebaikan, keteraturan, menghias diri dengan
kebaikan, meninggalkan yang tidak baik, ketenangan, dan kehati-hatian. Adapun
keberanian berkembang menjadi 9 cabang, yaitu berjiwa besar, pantang takut,
ketenangan, keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan, dan
memiliki daya tahan yang kuat atau senang bekerja berat. Sementara keadilan
oleh Ibnu Miskawaih dibagi ke dalam tiga macam, yaitu keadilan alam, keadilan
adat istiadat, dan keadilan Tuhan. Selanjutnya Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa
posisi jalan tengah tersebut bisa diraih dengan memadukan fungsi syariat dan
filsafat. Syariat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa
bernafsu dan jiwa berani. Sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya
posisi tengah jiwa berfikir.[13]
Doktrin jalan tengah ini dapat dipahami sebagai
doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya paling
tidak pada tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan aktivitas.
Sebagai makhluk sosial, selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti
perkembangan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan,
ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah
selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan maupun
kelebihannya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi untuk masyarakat
mahasiswa misalnya tidak dapat disamakan dengan masyarakat dosen. Demikian pula
ukuran tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju akan berbeda dengan tingkat
kesederhanaan pada masyarakat negara berkembang. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa
dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat
terus-menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan
nilai-nilai hakiki dari pokok keutamaan akhlak. Jadi dengan doktrin jalan
tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.[14] Pokok keutamaan akhlak menurut Ibnu Miskawaih yaitu
terciptanya keharmonisan pribadi dengan lingkungannya: sesama manusia, alam dan
Tuhan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh kemampuan manusia dalam
mengharmonisasikan jiwa bernafsu, berani dan berpikir yang ada pada dirinya dan
dengan pihak di luar dirinya.[15]
Ibnu Miskawaih memberikan pengertian akhlak itu sebagai keadaan jiwa yang mendorong ke arah
melahirkan perbuatan tanpa pemikiran dan penelitian.[16] Lebih
tepatnya akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendorong lahirnya perbuatan secara
spontan. Dari sini pula Ibnu
Miskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam
hubungannya dengan pembinaan akhlaq yang bertujuan terciptanya manusia yang
berperilaku ketuhanan. Perilaku seperti ini muncul dari akal ketuhanan yang ada
dalam diri manusia secara spontan. Ibnu Miskawaih dalam memberikan motivasi
kepada diri sendiri dan orang lain untuk mencontoh akhlak Nabi.[17]
Maka dapat dipahami manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa
fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan
yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan
lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang
diperolehnya.
Ibnu Miskawaih menetapkan kemungkinan manusia
mengalami perubahan-perubahan akhlaq, dan dari segi inilah maka diperlukan
adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai
macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia
dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan
mana yang harus ditinggalkan.[18] Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pendidikan
anak-anak. Ia menyebutkan bahwa masa kanak-kanak mata rantai jiwa hewan dengan
jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulailah
ufuk manusiawi. Karena itu, sedini mungkin anak-anak harus dididik dan
mendapatkan pendidikan akhlak mulia. Sebagai kesan pada pendidikan dini inilah
yang akan berakar kuat dalam kehidupan mereka di masa yang akan datang.[19]
BAB III
PENUTUP
Maka
dapat dipahami dari uraian di atas tentang pemikiran Ibnu Miskawaih dalam
filsafatnya yaitu filsafat al-nafs dan filsafat al-akhlaq. Menurutnya bagaimana
manusia bisa mengembangkan
nilai moralitas dalam jiwa, yang terlebih dahulu memahami seluk beluk jiwa.
Menurut konsepsi Miskawaih, jiwa dilukiskan sebagai sesuatu yang bersifat
imaterial, bukan bagian tubuh, tidak membutuhkan tubuh, tidak dapat ditangkap
oleh panca indera jasmani, dan merupakan subtansi sederhana. Ibnu Miskawaih
juga menjelaskan bahwa faktor yang membedakan jiwa manusia dengan jiwa binatang
ialah adanya potensi akal dalam jiwa manusia, sedang potensi akal tidak untuk
memiliki pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Serta Ibnu Miskawaih
memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya
dengan pembinaan akhlaq yang bertujuan terciptanya manusia yang berperilaku
ketuhanan. Perilaku seperti ini muncul dari akal ketuhanan yang ada dalam diri
manusia secara spontan. Ibnu Miskawaih dalam memberikan motivasi kepada diri
sendiri dan orang lain untuk mencontoh akhlak Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Asy’arie, Musa. Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam berpikir.
Yogyakarta: LESFI. 2002
Bahasa, Tim
Penyusun Kamus Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Dasoeki, Thawil
Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: Dina Utama
Semarang/ DIMAS, 1993.
Drajat, Amroeni. Filsafat Islam. Jakarta:
Erlangga, 2006.
file:///C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/Desktop/tahdzb-al-akhlk-karya-ibn-miskawayh.html
Hitti, Plihip K. History of The Arabs. Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2006.
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak
Ibnu Miskawaih. Yogyakarta: Belukar, 2004.
[1] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam berpikir (Yogyakarta:
LESFI, 2002), hal. 1-2.
[2] Ibid.,hal. 6.
[4]
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah
Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang:
Dina Utama Semarang/ DIMAS, 1993), hal. 47.
[5] Plihip K. Hitti, (terjemahan)
History of The Arabs (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 488.
[6] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 73-74.
[7] Ibid, hal. 75-76.
[8] Sudarsono, Filsafat
Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 89.
[9] Natur : alam semesta dan segala yang
diciptakan oleh Tuhan; alam beserta isinya. Lihat Tim penyusun Kamus Pusat
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2. (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hal 776.
[10] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak
Ibnu Miskawaih (Yogyakarta:
Belukar, 2004), hal. 78-85.
[11] Amroeni Drajat, Filsafat Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 44-45.
[14] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 94-96.
[15] Ibid, hal. 113.
[17] Suwito, Filsafat Pendidikan
Akhlak Ibnu Miskawaih (Yogyakarta: Belukar,
2004), hal. 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar