PAHAM PEMIKIRAN DALAM
FILSAFAT PENGETAHUAN EMPIRISME
MUQODDIMAH
Usaha manusia untuk mencari
pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh
semangat dan terus-menerus. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman
Aristoteles, terdapat tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan diri
kepada pengalaman manusia, dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan
mutlak tersebut.[1]
Perkembangan ilmu pengetahuan modern sejak Renaisans tidak
hanya disambut baik oleh rasionalisme, melainkan juga oleh para filsuf Inggris.
Berbeda dari Rasionalisme yang beranggapan bahwa pengetahuan yang sahih
diperoleh hanya melalui rasio belaka, mereka beranggapan bahwa pengetahuan yang
sahih harus bersumber dari pengalaman (empeiria).
Dengan pendirian dasar itu, pandangan mereka disebut “empirisme”.
Pada zaman kita ini, empirisme menjadi sikap dasar segala
bentuk penelitian ilmiah. Pengetahuan harus didasarkan pada observasi empiris.
Sikap empiris macam ini cukup menggejala di Inggris, sehingga kerap kali
tradisi Anglosakson disamakan dengan tradisi empiris. Sebenarnya dalam
pemikiran Francis Bacon di akhir Renaisans, kita sudah mendapati empiisme,
yakni ketika dia menjelaskan metode induksinya.[2]
Barulah dari empat filsuf sebagai perintis sikap empiris yang menggejala pada
zaman ilmu dan teknologi, diantaranya: Thomas Hobbes (1588-1679 M), Jhon Locke
(1632-1704 M), George Berkeley (1665-1753 M), David Hume (1711-1776 M).[3]
Sebagai putra modernitas, empirisme juga memiliki maksud
yang jelas untuk mengganti cara berpikir tradisional. Dengan mengembalikan pengetahuan
pada pengalaman, empirisme berusaha membebaskan diri dari bentuk-bentuk
spekulasi spiritual yang menandai metafisika tradisional. Dengan cara itu juga
empirisme berusaha memisahkan filsafat dari teologi.[4]
PENGERTIAN EMPIRISME
Empirisme berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut
aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila
dikembalikan kepada kata Yunani-nya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman
inderawi. Dengan inderanya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang
semata-mata fisik dan masuk ke dalam medan intensional, walaupun masih sangat
sederhana. Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal konkret-material.
Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya
perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat
khas fisiologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya.
Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang
menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan
terbatas pada senbilitas organ-organ tertentu.[5]
Sehingga empirisme dinisbatkan kepada paham yang memilih pengalaman sebagai
sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah yang menyangkut dunia maupun
pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya aliran ini
sangat bertentangan dengan rasionalisme.[6]
Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati
berasal dari rasio, karena itu pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan
yang kabur. Sebaliknya, empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari
pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas
dan sempurna. Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat
suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, yang kemudian dipahami di dalam
otak, dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan
mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut. Aliran ini
menganggap pengalaman sebagai satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan.
Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.[7]
Hal ini dapat dilihat bila kita
memperhatikan pertanyaan seperti: “Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?”
Seorang empiris akan mengatakan, “karena saya merasakan hal itu atau karena
seorang ilmuwan telah merasakan seperti itu”. Dalam pernyataan tersebut ada
tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek),
dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana dia mengetahui es itu
dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba. Dengan kata lain, seorang
empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat
pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.[8]
1. THOMAS HOBBES (1588-1679 M)
Orang pertama pada abad ke-17 yang
mengikuti aliran empirisme di Inggris.[9]
Thomas Hobbes lahir pada tanggal 5 April 1588 di Malmesbury/ Westport dan
meninggal tahun 1679 di Hardwick.[10]
Ia adalah putra dari pastor yang membangkang dan suka berdebat. Keluarganya
terpaksa lari dari daerahnya akibat situasi yang kurang mendukung. Ia juga
sosok yang cerdas, terbukti pada umur 6 tahun sudah menguasai bahasa Yunani dan
Latin dengan amat baik dan umur 15 tahun sudah belajar di Oxford University.[11]
Hobbes dikenal sebagai salah seorang
perintis kemandirian filsafat. Dia berpendapat bahwa sejak lama filsafat
disusupi banyak gagasan religius, dan juga banyak filsuf yang sulit membedakan
filsafat dari teologi. Ia juga menegaskan bahwa filsafat tidak berurusan dengan
ajaran-ajaran teologis. Sedangkan yang menjadi objek penelitian filsafat adalah
objek-objek lahiriyah yang bergerak beserta ciri-cirinya, atau dengan kata
lain, objek-objek yang dapat dialami dengan tubuh kita. Menurutnya konsep-konsep
spiritual tidak relevan bagi filsafat, sebab tidak terdapat dalam pengalaman
kita. Berdasarkan asumsi itu, Hobbes lalu berpendapat bahwa pengetahuan harus
didasarkan pada pengalaman dan observasi.[12]
Materialisme yang dianut Thomas Hobbes dapat dijelaskan bahwa segala
sesuatu yang ada bersifat bendawi yakni segala kejadian adalah gerak yang
berlangsung karena keharusan dan realitas tidak bergantung pada gagasan kita,
terhisap di dalam gerak itu. Sebagai penganut empirisme, ia beranggapan bahwa pengalaman
merupakan permulaan segala pengenalan. Pengalaman adalah awal dari segala
pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan
diteguhkan oleh pengalaman.[13]
Pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala
pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu
pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa yang
lampau. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita
menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan
kepada otak kemudian diteruskan ke jantung. Di dalam jantung timbullah reaksi,
suatu gerak yang berlawanan. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak
reaksi tadi. Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan
disebabkan karena tekanan obyek atau sasaran kualitas dalam obyek-obyek yang
sesuai dengan penginderaan kita bergerak menekan indera kita. Warna yang kita
lihat, suara yang kita dengar bukan benda di dalam obyek melainkan di dalam
subyeknya. Sifat-sifat inderawi tidak memberi gambaran tentang sebab yang
menimbulkan penginderaan. Ingatan, rasa senang dan tidak senang dan segala
gejala jiwani bersandar semata-mata pada asosiasi gambaran-gambaran yang murni
bersifat mekanis.[14]
Thomas Hobbes menjadi besar namanya disebabkan karena
teorinya yang lebih modern tentang negara dibanding dengan teori tentang negara
yang mendahuluinya. Pemikirannya didasari dengan tabiat alamiah manusia hingga
dibutuhkan negara yang absolut bahkan hingga pemikiran atheisnya bahwa Allah
yang dapat mati. Di antara pemikirannya antara lain:
Menurut tabiatnya segala manusia adalah sama, dalam keadaannya yang
alamiah tiap manusia ingin mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang
lain. Pada dasarnya manusia cenderung untuk mempertahankan dirinya sendiri
karena waktu itu yang ada hanya hukum alam. Akibatnya mereka tertekan sehingga
menimbulkan perang total sehingga hidup menjadi buruk, kasar dan singkat. Sebab
dalam perang total itu kebijakan pokok ialah kekautan dan kecurangan agar manusia
dapat bebas dari pada bahaya kehancuran, pengalaman mengajarkan bahwa akal
sehat menuntut supaya tiap orang mau melepaskan haknya untuk berbuat sekehendak
sendiri. Oleh karenanya mereka bersatu dan bersama-sama membuat perjanjian
bahwa mereka akan tunduk kepada penguasa pusat yang mereka bentuk. Oleh karena
itu warga negara tidak berhak untuk memberontak. Orang banyak yang dipersatukan
demikian itu disebut “commonwealth”. Commonwelath ini disebut Leviathan,
Allah yang dapat mati. Di dalam commonwealth yang dipentingkan adalah
perdamaian yang awet yang tahan lama. Pemerintah harus diberi kuasa mutlak
tanpa batas. Sumber segala hak, hukum, moral adalah kuasa yang memerintah. Baik
dan jahat bagi perbuatan manusia diukur menurut peraturan dan larangan negara.[15]
2. JHON LOCKE (1632-1704 M)
John Locke lahir tanggal 29 Agustus 1632 di Wrington/Somersetshire
dan meninggal di Oates/Essex tanggal 28 Oktober 1704. Ia dilahirkan dari
keluarga yang memihak parlemen. Sikap puritan ayahnya sedikit banyak menularkan
kepada anaknya sebuah sikap tidak suka pada aristokrasi.[16]
Menurutnya segala pengetahuan datang dari pengalaman,
sedangkan akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Seluruh
pengetahuan kita peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan gagasan-gagasan
yang diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia hanya merupakan
tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil penginderaan kita. Sedangkan obyek pengetahuan adalah
gagasan-gagasan atau idea-idea, yang timbulnya karena pengalaman lahiriyah (sensation)
dan pengalaman batiniah (reflection) dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.[17]
Reflection itu pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan apakah
kepada manusia lebih baik lebih penuh dari pada sensation. Sensation
merupakan suatu yang memiliki hubungan dengan dunia luar tetapi tak dapat
meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations
manusia tak dapat juga suatu pengetahuan. Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi
dari kerja sama antara sensation dan reflections. Tetapi haruslah
ia mulai dengan sensation sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan
merupakan yang putih bersih; tabula rasa, tak ada bekal dari siapa pun yang
merupakan ide bawaan.[18]
Fokus filsafat Locke adalah antitesis pemikiran Descrates.
Ia menyarankan bahwa akal budi dan spekulasi abstrak agar kita harus menaruh
perhatian dan kepercayaan pada pengalaman dalam menangkap fenomena alam melalui
pancaindera. Pengenalan manusia terhadap seluruh pengalaman yang dilaluinya
seperti mencium, merasa, mengecap dan mendengar menjadi dasar bagi hadirnya
gagasan-gagasan dan pikiran sederhana. Gagasan yang datang dari indra tadi
diolah dengan cara berpikir, bernalar, memercayai dan meragukannya dan inilah
akhirnya disebut bagian aktivitas merenung dan perenungan.[19]
Di dalam karyanya An Essay
Concerning Human Understanding tahun 1689, Jhon Locke menganggap bahwa para
filsuf rasionalis bahwa idea-idea tentang kenyataan itu sudah kita miliki sejak
lahir. Menurutnya pikiran anak harus dianggap sebagai
kertas kosong, baru dalam proses pengenalannya terhadap dunia luar sehingga
pengalaman memberi kesan-kesan dalam pikirannya. Dengan demikian kebenaran dan
kenyataan dipersepsi subjek melalui pengalaman dan bukan bersifat bawaan.[20]
3. GEORGE BERKELEY (1665-1753 M)
George Berkeley lahir pada tanggal 12 Maret 1685 di Dysert
Castle Irlandia dan meninggal tanggal 14 Januari 1753 di Oxford.[21]
Sebagai penganut empirisme mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme
atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak belakang dengan pendapat John
Locke yang masih menerima substansi dari luar. Berkeley berpendapat sama sekali
tidak ada substansi-substansi material dan yang ada hanya pengalaman ruh saja
karena dalam dunia material sama dengan ide-ide. Berkeley mengilustrasikan dengan gambar
film yang ada dalam layar putih sebagai benda yang riil dan hidup. Pengakuannya
bahwa “aku” merupakan suatu substansi rohani. Tuhan adalah asal-usul ide itu
ada yang menunjukkan ide-ide pada kita dan Tuhanlah yang memutarkan film pada
batin kita.[22]
Pandangan Berkeley ini sekilas seperti rasionalisme karena
memutlakkan subjek. Jika diperhatikan lebih lanjut padangan ini termasuk
empirisme, sebab pengetahuan subjek itu diperoleh lewat pengalaman, bukan
prinsip-prinsip dalam rasio, meskipun pengalaman itu adalah pengalaman batin. Selanjutnya,
dengan menegaskan tentang adanya sesuatu yang sama dengan pengertiannya dalam
diri subjek dan juga ia beranggapan bahwa dunia adalah idea-idea kita.[23]
4. DAVID HUME (1711-1776 M)
Hume lahir pada tanggal 7 Mei 1711 di Edinburgh Inggris dan
meninggal pada tanggal 25 Agustus 1776.[24]
Empirisme mendasarkan pengetahuan bersumber pada pengalaman, bukan rasio. Hume
memilih pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Pengalaman itu bersifat
lahiriyah (yang menyangkut dunia) dan dapat pula bersifat batiniah (yang
menyangkut pribadi manusia).[25]
Hume mengkritik tentang pengertian subtansi dan kausalitas (hubungan sebab
akibat).[26] Ia tidak menerima subtansi,
sebab yang dialami manusia hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang
selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil
pengindraan langsung atas realitas lahiriah, sedang gagasan adalah ingatan akan
kesan-kesan.
Hume membagi kesan menjadi dua: kesan sensasi dan kesan
refleksi. Kesan sensasi adalah
kesan-kesan yang masuk ke dalam jiwa yang tidak diketahui sebab-musababnya.
Misalnya (kita melihat sebuah meja kayu): benda yang saya lihat di depan adalah
meja. Kesan refleksi adalah hasil
dari gagasan. Gagasan jika muncul kembali ke dalam jiwa akan membentuk
kesan-kesan baru. Kesan baru hasil pencerminan dari ide sebelumnya inilah yang
disebut dengan kesan refleksi. Misalnya, (kita melihat sebuah meja dari besi):
itu meja besi. Kita dapat menentukan bahwa itu meja walaupun terbuat dari bahan
yang berbeda, karena sebelumnya kita sudah ada kesan sensasi terhadap meja
kayu.
Sedangkan ia menolak tentang kausalitas dan menurutnya
bahwa pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan
kepada kita urutan sebab-akibat. Hume lebih suka menyebut urutan kejadian. Jika kita bicara tentang hukum alam atau sebab
akibat, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan
gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.[27]
Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan
logika atau kemestian sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya
hubungan saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti api membuat air
mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya "daya aktif" yang
mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu tidak bisa
diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan suatu
peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa terdahulu.[28]
Kedudukan
Empirisme Dalam Metode Ilmiah
Sistematika dalam metode ilmiah sesungguhnya merupakan
manifestasi dari alur berpikir yang dipergunakan untuk menganalisis suatu
permasalahan. Alur berpikir dalam metode ilmiah memberi pedoman kepada para
ilmuwan dalam memecahkan persoalan menurut integritas berpikir deduksi dan
induksi. Pola berpikir yang dikembangkan dalam metode ilmiah memperlihatkan
dengan jelas peran penting empirisme yang menekankan pembuatan kesimpulan
secara induksi. Empirisme berfungsi untuk menguji hasil penalaran terhadap
permasalahan yang dibangun atas dasar deduksi. Penalaran yang dilakukan dengan
mengkaji teori-teori dalam memahami permasalahan fakta hanya bisa sampai pada
perumusan hipotesis. Penalaran hanya memberi jawaban sementara, bukan
kesimpulan akhir.
Oleh sebab itu agar sampai kepada kesimpulan akhir, empirisme
diperlukan untuk menguji berbagai kemungkinan jawaban dalam hipotesis. Untuk
menguji jawaban-jawaban yang ada, ilmuwan harus masuk ke alam nyata.
Fakta-fakta atau bukti-bukti yang relevan dengan obyek permasalahan harus
dikumpulkan, disusun dan dianalisis. Di sinilah tugas empirisme. Namun demikian
peranan empirisme bukan saja hanya berkaitan dengan tugas pencarian bukti-bukti
atau yang lebih dikenal dengan pengumpulan data. Tetapi, sejak awal pengkajian
masalah sebenarnya kerja empirisme sudah terlibat. Pengalaman-pengalaman
ilmuwan yang berkaitan dengan obyek permasalahan sudah diperlukan dalam memberi
analisis terhadap fakta permasalahan. Mekanisme ini merupakan sisi lain dari
empirisme dalam metode ilmiah. Jadi empirisme tidak saja hanya diperlukan dalam
pengumpulan data, tetapi sudah dimulai sejak awal perumusan masalah.[29]
Telaah Kritis atas Pemikiran Filsafat Empirisme
Dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan
adalah data empirirs yang diperoleh dari panca indera. Sedangkan akal sebagai
sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain:
1. Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil padahal tidak.
Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan obyek tidak sebagaimana
adanya.
2. Indera menipu, pada orang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara
panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah
juga.
3. Obyek yang menipu, contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi obyek itu
sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh alat indera; ia membohongi
indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan inderawi salah.
4. Kelemahan ini berasal dari indera dan obyek sekaligus. Dalam hal ini
indera (di sisi meta) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan dan
kerbau juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.[30]
Metode empiris tidak dapat diterapkan dalam semua ilmu,
juga menjadi kelemahan aliran ini, metode empiris mempunyai lingkup khasnya dan
tidak bisa diterapkan dalam ilmu lainnya. Misalnya dengan menggunakan analisis
filosofis dan rasional, filosuf tidak bisa mengungkapkan bahwa benda terdiri
atas timbuanan molekul atom, bagaimana komposisi kimiawi suatu makhluk hidup,
apa penyebab dan obat rasa sakit pada binatang dan manusia. Di sisi lain
seluruh obyek tidak bisa dipecahkan lewat pengalaman inderawi seperti hal-hal
yang immaterial.[31]
Keterbatasan empirisme dalam perannya menyumbangkan
pengetahuan melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan
terhadapnya. Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt
(1968) terdiri atas tiga bagian. Pertama, pengalaman yang merupakan dasar utama
empirisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif.
Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab
seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan penilaian. Dengan kajian
yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian
yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori
pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa
hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
Kedua, dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam
nyata, manusia sangat bergantung pada persepsi panca indera. Sedangkan panca
indera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan pancaindera,
persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan. Ketiga,
di dalam empirisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak
pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan
dalam empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah
pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan
harus diuji terlebih dahulu.
Kritik lain yang juga diungkapkan oleh Brower dan Heryadi
bahwa tidak mungkin unsur-unsur khusus menghasilkan suatu kebenaran yang
bersifat universal. Meskipun diakui bahwa munculnya pengetahuan dan
legitimasinya berasal dari pengamatan, tetapi pada kenyataan tidak semua sumber
pengetahuan hanya terdapat dalam pengamatan.[32]
PENUTUP
Menurut empirisme bahwa pengetahuan yang sahih bersumber
dari pengalaman. Dengan pendirian dasar itu, pandangan mereka disebut
“empirisme”. Sehingga empirisme dinisbatkan kepada paham yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah yang
menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia.
Pada dasarnya aliran ini sangat bertentangan dengan rasionalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2008.
Hadiwijono, Harun.
Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet.
20. Yogyakarta; Kanisius. 2007.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai
Nietzsche. Cet. 2. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. 2007.
http://paisnews.blogspot.com/2009/01/empirisme.html,
14 April 2009
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga
Postmodernisme. Jogjakarta; Ar-Ruzz Media. 2008.
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Cet. 3. Jakarta; Kencana. 2008.
Suriasumantri, Jujun
S. Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hekekat Ilmu. Cet. 11. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia.
1994.
[1] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hekekat Ilmu,
Cet. 11, (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1994), Hal. 102
[2] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Cet. 2, (Jakarta ; Gramedia Pustaka
Utama, 2007), Hal. 64
[3] Ali Maksum, Pengantar
Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Jogjakarta; Ar-Ruzz
Media, 2008), hal. 358.
[4] F. Budi Hardiman, Ibid,hal. 65
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 98-99.
[6] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Cet. 3
(Jakarta; Kencana, 2008), Hal. 105.
[7] Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Jogjakarta;
Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 357-358.
[8] Amsal Bakhtiar , Ibid, hal. 99.
[9] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet.
20, (Yogyakarta; Kanisius, 2007), hal.
32.
[10] F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 66.
[11] Ali Maksum, Ibid, hal. 123-124.
[12] F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 67-69.
[13] Juhaya S. Praja, Ibid, hal. 107-109.
[14] Ibid, hal. 109-110.
[15] Harun Hadiwijono, Ibid, hal.
34-35.
[16] F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 74.
[17] Harun Hadiwijono, Ibid, hal. 36.
[18] I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam
Filsafat, Jakarta :
Rineka Cipta, 1990, hal. 105 (dikutip dari http://paisnews.blogspot.com/2009/01/empirisme.html
)
[19] Ali Maksum, Ibid, hal. 133.
[20] F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 75-76.
[21] Ibid, hal. 83.
[22] Juhaya S. Praja, Ibid, hal. 111-112.
[23] F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 85.
[24] Ibid, hal. 86.
[25] Ali Maksum, Ibid, hal. 135.
[26] Juhaya S. Praja, Ibid, hal. 112.
[27] Ali Maksum, Ibid, hal. 136-137.
[28] Amsal Bakhtiar, Ibid, hal. 100-101
[30] Ibid, hal. 102.
[31] Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Dasar Filsafat Islam, Bandung : Mizan, tt, hlm. 58.
(dikutip dari http://paisnews.blogspot.com/2009/01/empirisme.html
)